Partai Golkar pimpinan Aburizal Bakrie, akhirnya memilih untuk berkoalisi dan mendukung pencalonan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sebagai capres dan cawapres pada Pilpres 2014.

Pilihan Golkar diputuskan setelah serangkaian manuver politik yang dilakukan ARB, sapaan Aburizal Bakrie, ke sejumlah pimpinan partai besar, termasuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, maupun Gerindra.

Keputusan Golkar untuk mendukung pasangan Prabowo-Hatta itu tak lepas dari sikap legowo ARB yang harus “lengser” dari pencalonan sebagai capres. Meskipun, wacana untuk mempertahankan pencalonan ARB sebagai capres juga sebenarnya tak berhenti begitu saja.

Bahkan, Partai Demokrat sempat melontarkan wacana koalisi untuk mengusung ARB-Pramono Edhie Wibowo sebagai pasangan capres dan cawapres. Lantas, apa tanggapan ARB terkait pilihan koalisi tersebut, dan seberapa strategis peran Golkar dalam persaingan Pemilihan Presiden 2014.

Berikut petikan wawancara Aburizal Bakrie dengan tvOne yang disiarkan langsung pertengahan Mei 2014 ini:

Hasil Pemilihan Umum Legislatif menempatkan Partai Golkar di posisi kedua. Bagaimana Anda melihat kinerja ini? Terutama terkait pendapat mengenai turunnya popularitas hingga isu munculnya beberapa faksi di internal partai?

Saya melihatnya ibarat dua sisi mata uang. Ada yang bilang ini karena berhasilan, ada yang bilang kegagalan. Ada yang bilang suka, ada yang bilang tidak suka. Ada yang bilang cinta, ada yang benci. Tapi, saya menganggapnya itu biasa-biasa saja.

Partai Golkar adalah partai yang sangat demokratis. Semua berpegang pada keputusan institusi tertinggi partai. Pendapat boleh berbeda. Seperti pada saat Rapimnas 2013, semua berlangsung smooth. Kemarin, saat Rapimnas VI, muncul isu akan ada tiga faksi dan sebagainya. Tapi, ternyata juga berlangsung smooth.

Rapimnas memberikan tugas, mandat, atau wewenang penuh kepada ketua umum untuk melakukan apa saja. Jika Golkar akan mengajukan capres dan cawapres, nama yang harus muncul adalah ARB. Itu keputusan yang dilakukan secara demokratis. Suara-suara bisa saja berkembang. Tapi, di Golkar tidak ada pemecatan karena adanya perbedaan pendapat.

Apakah Anda tetap berambisi untuk menjadi orang nomor satu di pemerintahan?

Pertama, keputusan solid dan aklamasi di Rapimnas itu luar biasa.

Kedua, kalau mau berbuat bagi negara jangan melihat pada jabatan dan saya dapat jabatan apa. Tapi, yang harus dilihat adalah apakah secara objektif itu bisa memenuhi. Jadi, harus melihat fungsi dan objektivitasnya. Harus melihat tujuan dalam berpolitik dan bagaimana memberikan pengetahuan serta pengalaman yang kita miliki untuk menyelesaikan masalah bangsa. Tidak harus jadi presiden, itu tidak masalah. Apa yang bisa diberikan berdasarkan pengalaman yang kita punya. Jabatan yang pernah saya emban sebagai Menko Kesra dan Menko Perekonomian merupakan pengalaman yang luar biasa. Di mana pun, berbuat sesuatu untuk negara itu harus melihat bagaimana objektifnya. Tidak harus jadi pejabat. Saat itu, Pak SBY juga pernah menawari untuk jabatan Menko Kesra lagi, tapi saya menolak. Kemauan berbuat bagi bangsa dan negara itu harus berdasarkan pengetahuan dan pengalaman kita untuk memberikan sesuatu yang terbaik.

Apa yang melandasi Anda dan Partai Golkar untuk memilih berkoalisi dengan Prabowo Subianto?

Ada dua keputusan Rapimnas. Pertama, tetap mencalonkan saya sebagai capres atau cawapres. Tapi, realitas politik tidak bisa dilakukan. Kedua, menentukan arah koalisi dan memberikan mandat penuh. Bukan soal jabatan apa. Kalau ingin memilih antara beberapa opsi, yang penting bagi saya adalah apakah opsi itu terbaik bagi bangsa dan negara. Selanjutnya, apakah terbaik bagi partai dan diri pribadi. Itu urutannya. Itu alasan kenapa pilih berkoalisi dengan Pak Prabowo. Tidak harus jadi menteri, saya sudah cukup populer kok.

Bagaimana Anda menyikapi kader partai yang menyeberang dan mendukung koalisi yang tidak didukung Golkar?

Seperti saya sebutkan tadi, ini ibarat dua sisi mata uang. Ada yang menyebut sebagai kegagalan, ada pula yang mengatakan sebagai keberhasilan dalam menjalankan organisasi partai. Dalam demokrasi orang boleh melakukan apa saja. Keputusan Rapimnas secara aklamasi dan demokratis adalah contoh keberhasilan.

Dalam Anggaran Dasar dan peraturan organisasi partai tidak ada pemecatan kader yang berbeda pendapat. Yang ada adalah mereka harus menanggalkan jabatan struktural yang melekat. Tidak jadi masalah bagi yang berbeda pendapat, karena sudah saling mengerti posisi masing-masing. Pak Luhut (Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Luhut Panjaitan) bisa meninggalkan jabatan. Begitu pula yang lain.

[Luhut memilih untuk mendukung pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam Pilpres 2014].

Jadi, tidak ada pemecatan. Golkar adalah partai paling demokratis. Orang yang punya keyakinan harus kita hargai sampai berhasil. Perbedaan pendapat itu sesuatu yang demokratis. Pandangan politik tidak boleh membuat persahabatan memudar. Pak Luhut mundur dari jabatan struktural, tidak ada pemecatan.

Sebelum memutuskan untuk berkoalisi dengan Prabowo, Anda sempat bertemu dengan Megawati. Apa yang dibicarakan dalam pertemuan itu?

Pertemuan dengan Ibu Megawati (Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri) dan Pak Prabowo sebagai mandat partai untuk memilih mana yang terbaik. Setelah saya salat istikharah dan mendengar penjelasan Ibu Megawati dan Pak Prabowo serta Pak Joko Widodo terkait misi dan visi, akhirnya saya memutuskan untuk mendukung Pak Prabowo. Saya mempertimbangkan mana kepentingan negara yang terbaik. Kepentingan negara lebih besar dari partai. Tidak ada deal tertentu, ini semata-mata untuk Indonesia lebih baik.

Apakah manuver Anda ini bisa disebut Golkar panik?

Ada yang menyebut panik, tapi ada juga yang bilang hebat. Hebat ya, ARB dan Golkar bisa manuver ke mana-mana. Bisa diterima di mana saja.

Apakah ada pembicaraan terkait “mahar”?

Soal mahar tidak ada. Tidak pernah ada pembicaraan soal itu. Baik dengan Pak Prabowo maupun Ibu Megawati.

Bagaimana Anda melihat pencalonan Jusuf Kalla sebagai cawapres?

Pak Jusuf Kalla kawan baik saya. Saat saya menjabat ketua umum Kadin, Pak JK adalah ketua Kadin Sulawesi Selatan. Lalu, saat menjabat Wakil Presiden, beliau meminta saya masuk kabinet. Tapi, saya menolak. Saat itu, setelah buka puasa, kami berbicara lagi dan baru saya menerima. Jadi, tidak ada alasan menolak Pak JK. Kami mempertimbangkan untuk Indonesia lebih baik. Ketika kepentingan bangsa dipertaruhkan, itu lebih penting dari partai dan pribadi.

Anda pernah diusulkan untuk berpasangan dengan kader PPP dan Demokrat? Pendapat Anda?

Dengan Pak Lukman Hakim Syaifudin itu atas iniasitif Pak Suharso (Suharso Monoarfa, mantan Menteri Perumahan Rakyat) dan Pak Emron Pangkapi dari PPP. Sedangkan dengan Pak Pramono Edhie Wibowo, saya pernah bicara dengan Pak SBY sekitar setahun lalu. Saya bilang cocok dengan Pak Pramono. Selanjutnya, dalam masa pemilihan presiden ini, Golkar dan Demokrat bikin tim. Pembicaraan cukup berat dengan negosiasi selama tiga malam berturut-turut. Dengan bermacam opsi, akhirnya tim mengusung ARB-Pramono. Usulan ini selanjutnya disampaikan ke ketua partai masing-masing yang pelaksanaan Rapimnas harinya bersamaan. Jadi, wacana ini dari Demokrat.

Bagaimana Anda melihat peran Partai Golkar dalam Pilpres 2014?

Ke mana pun Partai Golkar berlabuh, apakah ke Pak Jokowi atau Pak Prabowo, pendukung  di atas kertas di atas 50 persen. Jika Golkar ke Jokowi, dukungan kursi di parlemen lebih dari 50 persen. Sedangkan kalau ke Prabowo juga 50 persen kursi di DPR. Jadi, Golkar memiliki peran strategis dalam menentukan arah sejarah bangsa. Selanjutnya, Golkar adalah partai dari golongan karya. Artinya, golongan yang akan melakukan karya bagi bangsa dan negara. Saya termasuk orang yang tidak percaya dalam demokrasi dan Pancasila ada kata oposisi. Yang ada adalah di dalam atau luar kabinet, atau di dalam atau luar koalisi.

Saya sudah bicara dengan Pak Jokowi. Meski tidak bersama dalam koalisi, tetapi saya akan mendukung presiden terpilih. Karena, itu presiden sah RI. Dalam sistem presidensial yang tidak jelas sekarang, butuh dukungan lebih 50 persen di parlemen. Jadi, sulit bagi presiden tanpa dukungan parlemen. Nantinya, jika kader Golkar diminta terlibat dalam pemerintahan karena pertimbangan profesional, mereka harus mau. Tidak bisa menolak. Dengan catatan karena pertimbangan pengetahuan, pengalaman, dan kepandaian.

Jika diminta untuk memilih, Anda suka menjadi tipe pemimpin yang mendongak atau menunduk?

Lurus saja. Bisa lihat ke bawah, bagaimana kesulitan orang dan ke atas dengan melihat kemajuan negara lain, sehingga akan menjadi contoh bagi kita. Artinya, ojo gumunen, ojo kagetan, ojo dumeh. Artinya, tidak boleh lihat langsung kagum, tidak boleh kaget ketika ada problem, dan tidak boleh mentang-mentang berkuasa. Sebaiknya lihat secara datar saja, jika masih banyak kekurangan, ambil keputusan terbaik.

Dalam proses berkoalisi sempat muncul wacana untuk memberikan jabatan menteri utama? Tanggapan Anda?

Pak Prabowo yang menawarkan jabatan itu. Dalam nomenklatur pemerintahan, terkait susunan menteri, yang ada adalah menko dan menteri. Tidak ada perdana menteri. Kemudian, yang muncul adalah menko koordinator utama. Tugasnya, melakukan koordinasi dan membawahi menko di bidang tertentu. Menko utama menjalankan tugas di bawah arahan presiden dan wapres.

Di dalam teori manajemen, seseorang hanya mampu menjalankan kemampuan manajerial terhadap 9 orang lainnya. Saat ini, menteri ada berapa, sekitar 34 orang termasuk menko. Selain itu, ada panglima TNI, kepala Polri, kepala BIN, yang bertanggung jawab kepada presiden. Seorang presiden di mana pun tidak bisa mengelola sekitar 50 orang sekaligus. Jadi, perlu dibantu untuk mengelolanya. Jika presiden bertindak sebagai CEO dan policy maker, perlu ada COO. Jadi, ide Pak Prabowo adalah menggabungkan semua kekuatan untuk problem yang begitu besar saat ini. Yaitu, kekuatan hankam, ekonomi, kesra, dan administrasi.

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com