Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Husni Kamil Manik mengutarakan, untuk menghapuskan sistem noken di wilayah Papua perlu melewati tahapan-tahapan khusus. Untuk merubah kebiasaan yang serupa dengan sistem electoral college itu menjadi sistem satu orang, satu suara, satu nilai membutuhkan waktu, Senin (14/3).

Sebagai langkah awal, proses pemungutan suara melalui sistem noken perlu diadministrasikan dengan baik, sehingga masyarakat Papua yang memberikan hak konstitusionalnya bisa terdata dengan baik. Husni tidak ingin sistem itu disalahgunakan oleh oknum dengan memanipulasi data kependudukan masyarakat Papua.

“Noken ini kita diskusikan secara serius. Kami ingin agar noken ini secara administrasi memang bisa dipertanggungjawabkan. Jangan sampai yang sudah meninggal memberikan suara, atau bahkan yang tidak pernah ada juga bisa memberikan suara,” terang Husni.

Dalam diskusi antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan KPU di Kantor Komnas HAM, Jakarta itu, Husni mengatakan, untuk mengaitkan sistem noken dalam pelaksanakan pilkada dengan nilai-nilai HAM perlu ada kajian yang mendalam. Karena sistem noken bukan hal baru dalam dunia pemilu.

“Suara perwakilan ini bukan hal baru dalam dunia pemilu, dan saya kira dalam konteks HAM nya perlu di bahas lebih tuntas. Karena dalam pemilu ada nama istilahnya electoral college atau suara perwakilan, itu diterapkan oleh Amerika. Dan itu tidak sesuai dengan prinsip one man one vote one value,” lanjut dia.

Husni mencontohkan, dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat Tahun 2000 yang mempertemukan George W. Bush dengan Al Gore. Kala itu Al Gore unggul perolehan popular vote, tetapi karena kalah secara electoral college maka George W. Bush lah yang menjadi presiden Amerika Serikat Tahun 2000.

“Dalam pertarungan pemilihan presiden antara George W. Bush dengan Al Gore. Al Gore itu menang popular vote, satu orang, satu suara. Tapi kalah secara electoral college, suara perwakilan. Sehingga menanglah George W. Bush. Lalu apakah pemilu di Amerika melanggar HAM?,” papar Husni.

Oleh karena itu, Husni mengatakan bahwa KPU sangat berhati-hati dalam melakukan diskusi terkait sistem noken dan HAM. Langkah KPU yang paling utama saat ini adalah membuat sistem noken dapat dipertanggungjawabkan secara administratif.

“Maka dalam sistem noken kami sangat berhati-hati sekali membicarakan nilai pelanggaran HAM nya dimana. Upaya kami bagaimana administrasinya bisa dipertanggungjawabkan dulu,” lanjut dia.

Langkah Pendewasaan

Meski demikian, kesadaran politik dan demokrasi di Papua perlu mendapatkan apresiasi. Khususnya di wilayah Papua Barat. Dimana dalam beberapa kali pelaksanaan pemilu makin sedikit wilayah yang menerapkan sistem noken.

Saat pemungutan suara pemilu Tahun 2004 di Papua Barat, kepala suku harus berada di dalam bilik suara untuk mengarahkan pilihan para pemilih. Pada Pemilu Tahun 2009, keberadaan kepala suku tidak lagi ditemukan di dalam bilik suara.

“Tahun 2004 kepala suku mengarahkan pemilih dalam bilik suara. 2009 tidak perlu lagi kepala suku didalam bilik suara. Perkembangan selanjutnya, karena tidak lagi menggunakan sistem noken masyarakat sudah bisa memilih calon lain, atau membuat suaranya sebagai ungkapan protes, dia buat tidak sah,” terangnya.

Dengan progres tersebut, Husni berharap wilayah Papua lainnya bisa mengadaptasi langkah Papua Barat dalam merubah kesadaran politik dan demokrasi masyarakatnya.

“Dari jalan yang dibuat oleh Papua Barat ini penting sebagai langkah kemajuan, mungkin kedepan di Papua bisa dicontoh juga,” kata Husni. (rls)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com