INDOPOLITIKA.COM – Pemprov DKI Jakarta meminta kepada pemilik lahan moda transportasi, agar menyiapkan area penjemputan ojek online (OL) di sejumlah stasiun atau halte. Aplikator akan mematikan sistem penjemputan apabila tidak menjemput penumpang di area penjemputan tersebut.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan, beberapa waktu lalu, pihaknya telah meresmikan transit plaza di Stasiun Mass Rapid Transit (MRT) Lebak Bulus hasil dari kolaborasi aplikator Gojek dengan PT MRT Jakarta. Transit plaza itu merupakan tempat berkumpulnya angkutan online untuk menjemput penumpang. Sehingga, tidak ada lagi angkutan online yang mengokupasi jalan.

“Nah, ini untuk ojek online ini wujud kolaborasi, kita mendorong seluruh stakeholder yang ada itu berkolaborasi,” kata Syafrin, saat dihubungi pada Minggu (20/10).

Syafrin menjelaskan, selama ini ada yang salah dengan pembinaan para driver ojek online dalam menjemput penumpang. Seharusnya, kata dia, sebagai ojek online yang dibekali aplikasi dari aplikator, driver ojek online tidak perlu berkumpul berbondong-bondong merapat ke stasiun ataupun halte sambil melihat handphone-nya.

Padahal, kata dia, kalau disiapkan tempat untuk penjemputan saja, para ojek online sudah bisa lebih tertib. Mereka hanya datang ketika ada penumpang yang pesan di lokasi penjemputan atau shelter yang disediakan. “Para driver yang menunggu di jalan, meski sudah ada shelter tidak akan diberikan penumpang oleh aplikator. Jadi, tinggal kolaborasi penyediaan shelter saja dari pemilik lahan. Kita dorong ke sana,” jelasnya.

Syafrin mengakui bila ojek online bukanlah angkutan umum. Namun, keberadaan mereka dalam memberikan kebutuhan masyarakat dalam bermobilitas tidak bisa dipungkiri. “Jadi harus difasilitasi,” tegasnya.

Sementara, pengamat transportasi Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno menuturkan, meski ojek online bukan angkutan umum, tetapi mereka diatur dalam Peraturan Menteri Perhubung Nomor 118 Tahun 2019 tentang Angkutan Sewa Khusus. “Di dalam PM itu diatur bahwa aplikator harus menyediakan shelter,” ungkapnya.

Sementara, Ketua Organda DKI Jakarta Shafruhan sinungan heran dengan sikap Dinas Perhubungan DKI Jakarta yang justru mengakomodir keinginan ojek online, dengan meminta pemilik lahan moda transportasi menyediakan shelter. Menurutnya, hal itu bertolak belakang dengan peningkatan layanan angkutan umum atau program Jak Lingko yang tengah digadang-gadangkan. “Seharusnya, sediakan lahan angkutan umum resmi bukan ojek online. Pemerintah harus tegas,” tegasnya.

Sedari awal beroperasinya ojek online, lanjut Shafruhan, pemerintah tidak bereaksi dengan alasan dibutuhkan masyarakat menengah kebawah. Bahkan,Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri yang melakukan pembiaran itu. Padahal, kata Shafruhan, roda dua bukan angkutan umum yang jelas tidak diakomodir dalam Undang-Undang Lalu lintas dan Angkutan Jalan No. 22 Tahun 2009 lantaran rawan kecelakaan. “Ojek dulu itu di lingkungan, setelah jadi Online malah liar ke mana-mana. Dan bahkan, mematikan mikrolet dan bajaj. kami tidak permasalahan aplikasinya, tapi roda duanya,” pungkasnya.[ab]

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com