INDOPOLITIKA.COM – “Sampai sekarang saya sependapat andai saja Gus Dur mundur sendiri, itu jauh lebih baik. Namun, ya tidak apa-apa. Bangsa Indonesia tidak marah. Mereka menerima Gus Dur dan mengakui disitulah keanehan Gus Dur”. (Franz Magnis Suseno dalam Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa, 2017: 136).

Romo Magnis merupakan salah seorang sahabat Gus Dur yang menyarankannya untuk mundur dari kursi presiden ketika dirinya didera politisasi kekuasaan dengan berbagai macam tuduhan. Namun, bukan Gus Dur namanya jika tidak mempunyai keteguhan pendirian. Apalagi posisi Gus Dur tidak terbukti bersalah secara hukum terhadap kasus yang menderanya.

Saat situasinya benar-benar diujung tanduk, Romo Magnis kala itu diminta sejumlah tokoh yang juga kawan-kawan Gus Dur untuk memberikan masukan dan pandangan untuknya mengenai situasi politik yang dihadapi. Empat minggu sebelum Gus Dur dilengserkan, delapan orang kawan mendatangi Gus Dur di istana. Di istana ada putri Gus Dur yang senantias setia mendampingi ayahnya, Yenny Wahid.

Romo Magnis berbicara apa adanya kepada Yenny bahwa Gus Dur sebaiknya mundur ketimbang diturunkan. Mendengar aspirasi tersebut, Yenny mewanti-wanti mungkin Gus Dur bakal marah. Tetapi Yenny tetap mempersilakan Romo Magnis dan kawan-kawan untuk menyampaikan langsung saran tersebut kepada Gus Dur. Mendengar saran untuk mundur, ternyata Gus Dur tidak marah di tengah situasi yang serba panas kala itu.

Dengan tenang Gus Dur menjelaskan kepada kawan-kawannya yang aktif di Forum Demokrasi mengapa dirinya tidak mau melakukan pengunduran diri. Intinya, apa yang dia lakukan benar. Justru DPR dan MPR-lah yang inkonstitusional. Di tengah ketegangan politik yang menginginkannya untuk mengundurkan diri itu, Gus Dur justru sempat menanggapinya dengan humor:

“Saya disuruh mundur? Maju saja dituntun?” kata Gus Dur disambut tawa renyah kawan-kawan yang mengelilinginya. Menjelang pelengserannya sebagai Presiden RI oleh parlemen dalam Sidang Istimewa (SI) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melakukan perlawanan.

Langkah perlawanan Gus Dur bukan untuk mempertahankan dirinya sebagai presiden, tetapi melawan tindakan-tindakan inkonstitusional dan tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepadanya. Kompas pada 1 Agustus 2001 melaporkan bahwa menjelang tengah malam pada tanggal 22 Juli 2001, Gus Dur sempat mengadakan pertemuan bersama wakil sekjen PBNU yang kala itu dijabat oleh Masduki Baidlawi dan tujuh ulama sepuh di Istana Negara.

Mereka menyampaikan kepada Gus Dur perihal kondisi politik mutakhir yang berujung pada rencana percepatan SI MPR keesokan harinya, yaitu pada 23 Juli 2001. Kondisi pertemuan di Istana Negara kala itu dilaporkan berlangsung khidmat dan penuh keharuan. Gus Dur tak kuasa menahan air mata.

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com