INDOPOLITIKA.COM – Ditangkapnya Munarman dengan sangkaan terlibat tindak pidana terorisme telah menimbulkan perdebatan luas di kalangan masyarakat termasuk komentar pedas dari anggota parlemen Fadli Zon.

Anggota DPR dari Fraksi Gerindra Itu mengaku tak percaya Munarman terlibat tindak pidana terorisme. Fadli mencuit, dirinya mengenal baik Munarman. Penangkapan itu menurutnya mengada-ada. Tak pelak cuitan Fadli ini mendapatkan ragam reaksi dari yang mendukung sampai yang mengecam.

Di kalangan yang mendukung, cuitan itu menunjukan keberanian. Fadli dianggap mewakili suara kelompok pendukung Munarman. Mereka, dengan caranya masing-masing, memandang penangkapan Munarman adalah zalim. Lagi-lagi Presiden Jokowi yang disalahkan oleh kelompok ini.

Tak sedikit meme dan video dibuat dan disebar untuk mengutuk dan mengolok-olok penangkapan tersebut. Bahkan kepolisian dituduh melakukan hoaks karena menyebut ada bahan peledak yang dibawa saat penggeledahan sementara pendukung Munarman menyebutnya hanya bubuk deterjen.

Menanggapi pro kontra penangkapan tersebut, aktivis anti terorisme dari Gerakan Cinta Damai, Siti Nur Farida menyebut seharusnya semua pihak bisa menahan diri untuk menghakimi penangkapan itu. Menurutnya pihak kepolisian pasti sudah memiliki cukup bukti sehingga yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka. Selanjutnya semua pihak tinggal menunggu proses hukumnya. Adapun kalau keberatan dengan prosesnya, bisa mengajukan pra peradilan.

“Secara normatif kalau tidak terima dengan proses penangkapan, ya ajukan pra peradilan saja. Sementara soal tidak terima disangka terlibat tindak pidana terorismenya, ya lawan di pengadilan,” ujarnya kepada Indopolitika.com, Jum’at (30/4/2021).

Farida mengatakan, pada setiap terjadi tindak pidana terorisme dan penangkapan pelaku atau orang yang diduga terlibat, akan selalu memunculkan perbincangan. Dari situ justru akan terlihat siapa yang bersimpati pada terorisme. Apalagi kini ada teknologi yang bisa mengelompokkan komentar di sosial media dan rekam jejak komentarnya selama ini.

“Jadi seseorang memang bisa dikelompokkan sebagai simpatisan teroris hanya dengan melihat komentar saat terjadi tindak pidana terorisme dan juga dengan mempelajari rekam jejak komentarnya selama ini,” ujarnya.

Farida melanjutkan, tentu tidak bisa menyederhanakan bahwa bersimpati berarti berbuat pidana terorisme, namun menurutnya benih-benih simpati pada hal itu akan berbahaya. Di kemudian hari bisa saja sikap seperti itu berubah menjadi empati dan bahkan menjadi pengantin teror atau pelaku teror itu sendiri.

“Idealnya setiap perbuatan yang menimbulkan efek teror dan horor harus dikecam dan dilawan. Bukan dibiarkan atau malah didukung,” pungkasnya. [rif]

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com