INDOPOLITIKAGubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke pabrik air minum dalam kemasan (AMDK) Aqua yang berlokasi di Kabupaten Subang.

Dalam kunjungan tersebut, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menemukan adanya aliran dana rutin dari pihak Aqua kepada dua badan usaha milik daerah (BUMD), yakni PDAM dan Perum Jasa Tirta (PJT) II, yang dinilainya tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

Temuan itu berawal ketika Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi berdialog dengan salah satu karyawan pabrik. Dalam video yang diunggah melalui kanal YouTube Kang Dedi Mulyadi (KDM), karyawan tersebut mengungkapkan bahwa air limbah olahan yang dibuang ke sungai tetap dikenai biaya tambahan apabila dimanfaatkan pihak lain, termasuk pembayaran ke PDAM.

“Air yang dibuang, kalau digunakan kembali tetap ada meternya dan tetap bayar ke PDAM,” ujar sang karyawan.

Mendengar penjelasan tersebut, Dedi tampak terkejut dan mempertanyakan dasar dari pungutan tersebut.

“Ini kan bukan air PDAM, kenapa pembayarannya ke PDAM?” tanyanya dengan nada heran.

Keterangan itu kemudian membuka fakta baru bahwa Aqua ternyata melakukan pembayaran rutin ke tiga instansi sekaligus yakni Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), PDAM, dan PJT II.

“Aqua bayarnya ke tiga tempat: Bapenda, PDAM, dan PJT,” ungkap karyawan tersebut.

Menanggapi hal itu, Dedi mempertanyakan dasar hukum pungutan berlapis tersebut. Ia menilai, pembayaran kepada PJT II seharusnya hanya berlaku bagi perusahaan yang mengambil air dari permukaan atau sungai, bukan dari sumber air tanah sebagaimana yang dilakukan Aqua.

“Kalau bayar ke PJT, berarti airnya diambil dari permukaan. Tapi ini kan air tanah, bukan air sungai,” tegasnya.

Dari hasil pemeriksaan di lapangan, Aqua diketahui telah memiliki Surat Izin Pengusahaan Air Tanah (SIPA) yang memberikan izin resmi untuk memanfaatkan air bawah tanah. Dengan izin tersebut, perusahaan semestinya hanya berkewajiban membayar pajak air bawah tanah kepada pemerintah daerah, bukan kepada PDAM atau PJT II.

“PDAM tugasnya menjual air, bukan menarik pembayaran dari pengguna air tanah,” tegas Dedi.

Ia juga menyoroti pentingnya transparansi dalam sistem pembayaran pajak air.

“Pembayarannya cukup satu saja—pajak air bawah tanah atau pajak mata air. Tidak boleh ada pungutan ganda,” tambahnya.

Temuan ini kembali menyoroti isu lama terkait transparansi dan akuntabilitas tata kelola sumber daya air di sektor industri. Dedi menduga adanya praktik pungutan di luar ketentuan yang berpotensi merugikan daerah maupun masyarakat.

Sejumlah warga di sekitar pabrik Aqua Subang pun sebelumnya sempat mengeluhkan sumur mereka yang mengering, sementara aktivitas pengambilan air tanah oleh perusahaan terus berjalan. Kondisi tersebut mendorong Dedi untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap regulasi pengelolaan air tanah dan air permukaan di Jawa Barat.

“Nanti kita evaluasi semuanya. Pajak air harus jelas sumber dan penerimanya. Tidak boleh ada pungutan ganda,” tegasnya.

Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari pihak PDAM maupun PJT II terkait dugaan aliran dana dari Aqua. Dedi Mulyadi berencana menginstruksikan audit administratif guna memastikan apakah pembayaran tersebut sesuai prosedur atau justru melanggar aturan.

Kasus ini menjadi perhatian publik karena menyangkut transparansi tata kelola air di sektor industri, terutama di tengah meningkatnya kebutuhan air tanah. Dedi menilai, temuan di pabrik Aqua Subang ini bisa menjadi langkah awal untuk pembenahan sistem pengelolaan air di Jawa Barat.(Hny)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com