INDOPOLITIKA – Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau kembali regulasi pensiun seumur hidup bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Permohonan ini diajukan oleh sejumlah dosen dan mahasiswa UII, yang menilai beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan serta Anggota Lembaga Tertinggi atau Tinggi Negara beserta bekas pejabatnya, telah menimbulkan ketidakadilan dan bertentangan dengan hak konstitusional warga negara.

Salah satu pengaju, Mohammad Farhan Kamase, menjelaskan bahwa pasal-pasal yang diuji, antara lain Pasal 12, Pasal 16 Ayat 1 Huruf a, Pasal 17 Ayat 1, Pasal 18 Ayat 1 Huruf a, dan Pasal 19 Ayat 1 dan 2, mengatur mekanisme pemberian dana pensiun bagi pejabat tinggi negara, termasuk anggota DPR.

Menurut Farhan, regulasi tersebut memungkinkan penggunaan uang pajak rakyat untuk membiayai pensiun anggota DPR, padahal dana tersebut seharusnya digunakan untuk meningkatkan hak-hak dasar masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, fasilitas umum, serta penciptaan lapangan kerja.

Para pemohon berpendapat bahwa penggunaan APBN untuk membiayai dana pensiun anggota DPR tidak seimbang dengan kesejahteraan masyarakat, karena anggota legislatif telah menerima penghasilan yang sangat tinggi, bahkan mencapai 42 kali lipat upah minimum regional Jakarta.

Selain itu, mereka menyoroti bahwa dalam beberapa periode anggaran terakhir, besaran tunjangan dan dana pensiun bagi anggota DPR terus meningkat, sehingga memberikan kesempatan bagi para anggota untuk hidup nyaman seumur hidup, sementara kesejahteraan publik yang lebih luas cenderung terabaikan.

Salah satu isu yang dipersoalkan adalah kontradiksi antara Pasal 16 Ayat 1 Huruf a dan Pasal 17 Ayat 1. Pasal 16 mengatur bahwa pensiun pimpinan dan anggota DPR berhenti jika yang bersangkutan meninggal dunia.

Namun, Pasal 17 menetapkan bahwa jika penerima pensiun meninggal, pembayaran tetap diberikan kepada janda atau duda yang sah. Menurut pemohon, ketentuan ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan kontradiksi dalam penerapan regulasi.

Dalam permohonan mereka, para dosen dan mahasiswa juga menyinggung skema dana pensiun di negara lain seperti Korea Selatan, Jepang, dan Singapura, di mana pensiun anggota lembaga tinggi negara umumnya berasal dari kontribusi gaji pokok yang mereka setorkan sendiri saat menjabat.

Farhan dan rekan-rekannya menilai sistem pensiun anggota DPR di Indonesia seharusnya mengadopsi model serupa, agar lebih adil dan tidak memberatkan APBN.

Permohonan ini diajukan oleh dua dosen dan lima mahasiswa Fakultas Hukum UII, yang tercatat dalam Perkara Nomor 191 PUU XXIII 2025.

Para pengaju antara lain Ahmad Sadzali, Anang Zubaidy, M. Farhan Kamase, Alvin Daun, Zidan Patra Yudistira, dan Rayhan Madani. Mereka berharap Mahkamah Konstitusi dapat meninjau dan mempertimbangkan agar regulasi dana pensiun anggota DPR lebih adil, transparan, dan seimbang dengan kepentingan masyarakat luas.(Hny)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com