INDOPOLITIKA – Keterlambatan dalam penerimaan negara, khususnya dari sektor pajak, berdampak pada keuangan negara.

Masalah ini menjadi semakin serius karena negara memerlukan dana besar untuk membiayai berbagai program pemerintah. Bank Dunia pun mencatat adanya peningkatan utang yang signifikan untuk menutupi biaya tersebut.

Menurut laporan Macro Poverty Outlook yang dirilis pada April 2025, Bank Dunia memproyeksikan rasio utang pemerintah Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) akan mencapai 40,1 persen.

Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan rasio utang saat ini, yang berada di angka 39,6 persen terhadap PDB, dengan total utang pemerintah sebesar Rp8.909 triliun pada Januari 2025.

Bank Dunia juga memprediksi bahwa pengeluaran pemerintah Indonesia semakin besar, sebagian besar digunakan untuk mendanai program-program prioritas yang baru.

Sementara itu, sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, defisit anggaran seharusnya tidak boleh melebihi 3 persen dari PDB.

Jika defisit lebih besar, pemerintah dapat dianggap melanggar undang-undang, yang berisiko menimbulkan masalah besar.

Pemerintah kini lebih banyak menarik utang baru dengan cara menerbitkan surat berharga negara (SBN).

Walaupun rasio utang terhadap PDB yang mencapai lebih dari 40 persen masih tergolong aman, karena masih berada di bawah batas 60 persen yang ditetapkan, hal ini tetap menjadi beban besar bagi pemerintahan mendatang. Terutama terkait kewajiban membayar utang beserta bunga yang terus meningkat.

Pada tahun ini, pemerintah harus membayar utang yang jatuh tempo sebesar sekitar Rp800 triliun, dengan bunga utang yang mencapai Rp552 triliun. Totalnya mencapai Rp1.352 triliun.

Di sisi lain, penerimaan pajak juga masih jauh dari harapan. Kementerian Keuangan mencatat, hingga Maret 2025, penerimaan pajak baru mencapai Rp322,6 triliun, atau sekitar 14,7 persen dari target APBN 2025 yang sebesar Rp2.189,3 triliun.(Hny)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com