INDOPOLITIKA – Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda akhirnya mengungkapkan hasil uji laboratorium terkait dugaan pencemaran bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax, yang sebelumnya menyebabkan kerusakan pada banyak kendaraan di wilayah tersebut.

Berdasarkan kajian akademis yang melibatkan tim independen, ditemukan bahwa BBM tersebut tidak memenuhi standar kualitas dan berada dalam kondisi rusak.

Wali Kota Samarinda, Andi Harun, menjelaskan bahwa pihaknya telah menggandeng tim ahli dari Politeknik Negeri Samarinda (Polnes) dan empat laboratorium, dua di Kalimantan dan dua di Pulau Jawa, untuk melakukan pengujian secara mendalam.

“Kami sengaja merahasiakan proses ini agar hasilnya tetap objektif dan tidak terpengaruh oleh pihak luar,” ujarnya dalam konferensi pers kemarin.

Awalnya, hasil uji internal Pertamina pada 12 April 2025 menunjukkan bahwa Pertamax masih layak digunakan, sesuai dengan standar SK Dirjen Migas Nomor 3674K/24/DJM/2006.

Namun, setelah keluhan masyarakat terkait kendaraan yang bermasalah, Pemkot memutuskan untuk melakukan pengujian lanjutan.

Andi Harun menambahkan bahwa tiga sampel BBM diambil dari kendaraan yang terdampak masalah. Hasil uji menunjukkan nilai Research Octane Number (RON) yang lebih rendah dari standar Pertamax (RON 92):

– Sampel 1: RON 86,7

– Sampel 2: RON 89,6

– Sampel 3: RON 91,6

Sampel ketiga, yang memiliki RON tertinggi, dipilih untuk analisis lanjutan. Hasil pengujian mengungkapkan empat parameter utama yang tidak sesuai dengan standar Pertamax, yaitu:

– Kandungan timbal: 66 ppm

– Kandungan air: 742 ppm

– Total aromatik: 51,16% v/v

– Kandungan benzena: 8,38% v/v

Selain itu, pengujian menggunakan metode SEM-EDX dan analisis FTIR mendeteksi kontaminasi unsur logam berat seperti timah (Sn), rhenium (Re), dan timbal (Pb).

Unsur-unsur ini dapat mempercepat oksidasi BBM, menghasilkan senyawa polimer berat seperti polyethylene, polystyrene, polypropylene, dan poliakrilonitril yang menyebabkan terbentuknya gum, yang menyumbat sistem injeksi bahan bakar.

“Ketiga unsur ini dapat mempercepat reaksi oksidasi BBM menjadi hidrokarbon kompleks, yang mengarah pada terbentuknya gum, yang menyumbat filter sistem injeksi bahan bakar,” jelasnya.

Wali Kota juga menegaskan bahwa kerusakan kendaraan tidak disebabkan oleh tangki kendaraan yang mengandung timbal atau kerusakan lainnya, melainkan kualitas BBM yang sudah rusak.

Seluruh hasil pengujian ini telah diserahkan kepada pihak berwenang, termasuk Polresta Samarinda. Pemkot tidak memiliki kewenangan untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab dan menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum.

Sementara itu, Alwathan, ketua tim penguji dari Polnes yang juga dosen Teknik Kimia, mengungkapkan temuan penting berupa adanya air dalam BBM dalam bentuk emulsi, yang hanya bisa dideteksi melalui uji laboratorium.

“Air dalam BBM bukanlah air yang terlihat dengan mata telanjang. Air ini dalam bentuk emulsi yang menyatu dengan hidrokarbon, dan hanya bisa diidentifikasi melalui pengujian laboratorium,” jelasnya.

Ia berharap dengan terbukanya hasil uji ini, serta meningkatnya pengawasan publik dan media, pihak yang berwenang dalam produksi dan distribusi BBM akan lebih berhati-hati ke depannya.(Hny)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com