INDOPOLITIKA.COM – Angka kasus positif Covid-19 terus alami lonjakan, meski pasien yang dinyatakan sembuh juga mengalami peningkatan. Pemerintah sudah mengamanatkan, berbagai ormas juga banyak menganjurkan dalam situasi sedemikian seperti saat ini lebih utama untuk tinggal di rumah, bekerja dan belajar di rumah dengan memanfaatkan teknologi daring ata online.
Lalu bagaimana jika Sholat Jumat dilakukan di rumah namun dengan imam masjid yang melakukan streaming atau online?
Melansir dari NU Online, Jumat (19/5/2020), di tengah pandemi virus corona ini, sejumlah negara melakukan salat Jumat secara online. Dipandu oleh imam dan khatib, salat Jumat dilakukan di rumah masing-masing di London. Sementara itu, siaran langsung atau Live Streaming menjadi melalui akun Facebook menjadi alternatif di Finlandia.
Padahal salat Jumat harus dilaksanakan secara berjamaah. Akan tetapi untuk saat ini, kondisi sangat tidak memungkinkan bagi seseorang berkumpul di satu tempat. Menurut NU Online, sejauh prinsip salat Jumat dipenuhi, pelaksanaan salat Jumat secara live streaming via media sosial atau stasiun radio bisa menjadi alternatif. Khususnya di tengah pandemi virus corona ini.
Sejauh prinsip shalat berjamaah terpenuhi, maka shalat Jumat dengan live streaming via media sosial atau media arus utama seperti stasiun radio dapat menjadi alternatif pelaksanaan shalat Jumat di tengah pencegahan Covid-19.
Ulama menjelaskan paling tidak ada tiga posisi imam dan makmum dalam salat Jumat. Pertama, baik imam dan makmum berada di dalam bangunan yang sama yakni di masjid.
Kedua, imam dan makmum berada di tanah terbuka. Dan ketiga, imam berada di masjid serta makmum berada di luar masjid. Akan tetapi, beberapa ulama memiliki pendapat tersendiri terutama pada poin ketiga.
Pendapat para ulama
1. Ulama Syafi’iyah
Ulama Syafi’iyah membuat ketentuan lebih rinci perihal poin ketiga.
Mereka menyatakan bahwa jarak antara imam dan makmum tidak melebihi 300 hasta dan tidak boleh terhalang oleh apapun.
Artinya, dalam konteks ini, makmum harus mengikuti siaran live streaming imam/khatib yang disiarkan dari masjid terdekat tanpa terhalang oleh apapun.
2. Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i menghitung jarak antara imam dan makmum tidak melebihi 300 hasta kurang lebih berdasarkan urf (lebih tiga hasta masih boleh), yang terhitung dari akhir shaf di masjid, akhir masjid, atau pekarangan netral antara masjid lahan mati.
Mazhab Syafi’i menyatakan tidak sah shalat Jumat di mana sesuatu menghalangi imam di masjid dan makmum di rumah.
3. Imam Atha
Imam Atha tidak mempermasalahkan jarak antara imam dan makmum.
Menurutnya, shalat berjamaah (dan Jumat) tetap sah meski kedua berjarak satu mil bahkan lebih sejauh makmum mengetahui gerakan imam.
(Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majmu’, Syarhul Muhadzdzab, [Beirut, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 2010 M], juz IV, halaman 182).
Adapun Imam Malik mengatakan bahwa shalat berjamaah keduanya sah, kecuali shalat Jumat.
Sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan pelaksanaan shalat imam dan makmum tetap sah baik shalat berjamaah maupun shalat Jumat. لو صلى في دار أو نحوها بصلاة الامام في المسجد وحال بينهما حائل لم يصح عندنا وبه قال احمد وقال مالك تصح إلا في الجمعة وقال أبو حنيفة تصح مطلقا
Artinya, “Jika seseorang melakukan shalat di rumah atau sejenisnya dengan mengikuti shalat imam di masjid–sementara keduanya terhalang oleh sesuatu–maka shalatnya tidak sah menurut kami (mazhab Syafi’i).
4. Imam Ahmad juga memiliki pendapat yang sama. Menurut Imam Malik, pelaksanaan shalat berjamaah seperti ini sah kecuali pada shalat Jumat.
Tetapi bagi Abu Hanifah, pelaksanaan shalat seperti ini sah secara mutlak (baik shalat Jumat maupun berjamaah),” (An-Nawawi, 2010 M: IV/182).
Guru kami almarhum KHM Syafi’i Hadzami (Rais Syuriyah PBNU 1994-1999 M) pernah membahas persoalan serupa, yaitu orang sakit.
Sementara pembahasan kita dimaksudkan untuk orang sehat.
Muallim Syafi’i Hadzami (1931-2006 M) pada medio awal 1970-an mencoba menjawab pertanyaan bagaimana caranya bila seseorang sedang sakit keras yang dijawabnya melalui pandangan mazhab Syafi’i.
Dapatkah seseorang yang sakit keras tersebut mengikuti Jumat dengan mendengarkan radio sekaligus sambil tiduran/rebah?
“Orang sakit yang dapat permisi meninggalkan sembahyang Jumat tentu saja boleh mendengarkan khutbah melalui transistor di rumahnya, sambil berbaring di tempat tidurnya.
Tetapi, dia tidak bisa mengikuti shalat Jumat yang diadakan di masjid yang jauh antara jarak rumahnya itu sejauh tiga ratus hasta atau dia lebih terkemuka ke arah kiblat daripada imam masjid yang terdengar suaranya di radio.
Alhasil, tidak bisa, selama syarat-syarat berjamaah tidak terpenuhi, di antaranya jangan ada dinding antara dia dengan imam. Lagi pula kalau listrik mati atau baru baterai habis, buntu jamaahnya.
Alhasil, banyaklah mawani‘ yang tidak mengesahkan sembahyang berjamaah kepada imam di radio. Sembahyang imamnya radio, lucu kedengarannya. Melihat suatu ta‘liq pada juz ke II dari Kitab Fiqhussunnah bagi Assayyid Sabiq, halaman 121 sebagai berikut: أفتى العلماء بعدم صحة الصلاة خلف الراديو
Artinya, ‘Telah berfatwa ulama dengan ketiadaan sah sembahyang di belakang radio,’” (Lihat KHM Syafi’i Hadzami, Taudhihul Adillah, 100 Masalah Agama, [Kudus, Menara Kudus: 1982 M], juz III, halaman 180).
KHM Syafi’i Hadzami mengutip juga Al-Majmu’ karya An-Nawawi yang memberikan pilihan antara shalat Jumat di masjid atau shalat zuhur bagi orang yang tidak terkena kewajiban Jumat. Tetapi ia tidak menyarankan shalat Jumat di belakang radio. (Hadzami, 1982 M: 181).
Jika mengikuti pandangan ulama Syafi’iyyah serta Ahmad bin Hanbal dengan catatan tanpa penghalang; dan pandangan Imam Abu Hanifah yang menyatakan sah pelaksanaan shalat Jumat di mana imam di masjid dan makmum di rumah, maka poin yang perlu diperhatikan dalam shalat Jumat dengan live streaming atau siaran langsung via media sosial adalah soal pengetahuan makmum atas gerakan imam.
Ini sangat krusial dalam pelaksanaan shalat Jumat yang mengharuskan berjamaah karena adanya ketentuan di mana makmum tidak boleh tertinggal dari imam beberapa rukun fi’li atau gerakan imam.
الشرط الثاني العلم بالأفعال الظاهرة من صلاة الامام وهذا لا بد منه نص عليه الشافعي واتفق عليه الأصحاب ثم العلم قد يكون بمشاهدة الامام أو مشاهدة بعض الصفوف وقد يكون بسماع صوت الامام أو صوت المترجم في حق الأعمى والبصير الذي لا يشاهد لظلمة أو غيرها وقد يكون بهداية غيره إذا كان أعمى أو أصم في ظلمة
Artinya, “Syarat kedua adalah mengetahui gerakan fisik pada shalat imam. Tentu ini tidak boleh tidak, sebagaimana nash As-Syafi’i dan disepakati ashab. Lalu, pengetahuan (atas gerakan imam) dapat terjadi dengan menyaksikan imam atau menyaksikan sebagian shaf.
Pengetahuan juga dapat terjadi dengan mendengarkan suara imam atau suara penerjemah bagi jamaah disabilitas netra/jamaah yang melihat tetapi tidak dapat menyaksikan karena faktor gelap atau faktor lainnya. Ia dapat terjadi dengan petunjuk lainnya bila jamaah penyandang disabilitas netra atau disabilitas rungu di kegelapan,” (Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz I, halaman 357).
Oleh karena itu, untuk menghindari ketertinggalan makmum atas gerakan imam, pihak masjid yang menyiarkan siaran langsung dan juga makmum perlu mempersiapkan perangkat digital yang memadai untuk memaksimalkan akurasi berjamaah.
Mereka perlu memastikan sinyal, baterai, kuota, volume yang cukup, tripod, dan perangkat lainnya. Kecuali itu, makmum juga harus memerhatikan posisinya dengan posisi imam dalam kaitannya dengan mereka yang melaksanakan shalat Jumat online.
Jangan sampai posisi makmum lebih di depan daripada imamnya sebagaimana ketentuan umum perihal shalat berjamaah.
Shalat Jumat secara online tetap tidak mengurangi tuntutan lain dalam ibadah Jumat, yaitu menjaga kesunnahan hari Jumat dan mendengarkan dengan perhatian dua khutbah Jumat.
Pelaksanaan shalat Jumat melalui siaran langsung media sosial dari masjid terdekat dapat menjadi alternatif bagi penduduk Muslim di tengah pencegahan Covid-19 yang mengharuskan jaga jarak fisik ketika fasilitas masjid tidak memadai untuk mematuhi protokol Covid-19. [rif]
Tinggalkan Balasan