Indopolitika.comHilal Ramadhan dari PUSKAMRA (Pusat Kajian Hukum dan HAM Nusantara) meragukan komitmen Prabowo dalam mewujudkan ekonomi kerakyatan dan nasionalisme ekonomi sebagaimana selama ini didengung-dengungkan Prabowo. Nasionalisme ekonomi ini terwujud antara lain dalam bentuk adanya keadilan ekonomi dengan korporasi asing yang beroperasi di Indonesia.

 

Keraguan ini mencuat karena rekam jejaknya Prabowo menunjukkan hal sebaliknya. Contohnya saja terkait sikapnya terhadap Freeport. Dalam hal ini, Prabowo dinilai lebih memposisikan dirinya  seolah-olah public relation perusahaan tambang itu alih-alih seorang politisi atau lebih-lebih negarawan.

Penilaian ini didasarkan terlihat dari cara Prabowo membangun argumentasi pembelaannya untuk Freeport. “Jika ia negarawan, maka Prabowo akan memberikan penilaian secara seimbang dan obyektif,” kata Hilal Ramadhan, Minggu, (18/5/2014).

Sebagaimana pernah diberitakan, Prabowo menyatakan Freeport telah melakukan investasi besar  bagi Indonesia. Dana 1% yang diberikan itu hanya dana CSR. Masih banyak dana-dana lain yang dikucurkan Freeport kepada Indonesia.

“Kita seharusnya berpikir rasional untuk kepentingan nasional Indonesia bahwa kita meneruskan Freeport untuk kepentingan  suku-suku disekitar lingkunganya,” kata Prabowo pada pertengahan Juli tahun lalu

Pembelaan Prabowo ini dinilai berat sebelah. Pasalnya, Prabowo sama sekali tak menyebut soal pembayaran royalti Freeport yang dinilai banyak pihak sangat rendah dibandingkan yang dibayarkan perusahaan tambang yang beroperasi di negara-negara lain. “Belum lagi soal pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan, “ucap Hilal.

Selain itu, Prabowo juga tidak mempersoalkan keseriusan Freeport membangun bersama Indonesia. Kalau Freeport benar-benar serius berinvestasi, sudah sejak lama seharusnya Freeport membangun pabrik pengolahan (smelter). “Profit yang dikeduk Freeport itu luar biasa besarnya. Prabowo justru beranggapan perusahaan tambang itu seperti malaikat bagi Indonesia ataupun suku-suku di sekitar tambang,” kecam Hilal.

Jika ditilik ke belakang, kehadiran Freeport merupakan tonggak penting penguasaan asing terhadap sumber daya alam di tanah air. Prabowo, kata Hilal, seolah-olah melupakan fakta ini.

Hilal menyatakan dirinya tak setuju Freeport dinasioanalisasi. Yang jadi agenda bangsa adalah pembagian keuntungan yang lebih adil. Sebaliknya, menurut dia, secara implisit Prabowo berpendapat Freeport sudah sangat berjasa untuk Indonesia ataupun suku-suku di sekitar lokasi tambang. “Prabowo ngakunya mau wujukan keadilan ekonomi. Tapi, sikapnya sangat pro sekali pada Freeport.  Ini tragedi atau ironi ya?” tukasnya.

Senada dengan Hilal, sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia Mining And Energy Studies (IMES), M. Erwin Usman juga mempertanyakan ekonomi kerakyatan yang selama ini digaungkan Prabowo. Sikap Prabowo yang membela  PT. Freepot Indonesia, sama sekali jauh dari selogan yang kerap digembar-gemborkan Gerindra.

“Capres yang tak punya visi tegas dan kongkrit terkait freeport menunjukan lemahnya pengetahuan dan kapasitas ekonomi politik yang bersangkutan terkait dengan problem imperealisme dan neokolonialisme, yang sejatinya menjadi masalah pokok bangsa Indonesia saat ini,” ujar Erwin Usman. (Ind/red)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com