JAKARTA, INDOPOLITIKA – Boris Johnson akhirnya terpilih sebagai perdana menteri Negeri Ratu Elizabeth, Inggris. Ia akan menggantikan Theresa May yang akan mengundurkan diri pada Rabu besok.

Pria dengan nama lengkap Alexander Boris de Pfeffel Johnson ini memenangkan 66% suara atau sebesar 92.153 suara berbanding 46.656 dengan suara pesaingnya, Jeremy Hunt. Tingkat partisipasi dalam pemungutan suara adalah 87,4% dari 159.320 anggota partai.

Menjadi PM Inggris saat ini artinya Johnson akan dihadapkan hal paling pelik di Inggris saat ini, yakni Brexit. Meski baru menjabat, ia langsung mewarisi masalah yang timbul akibat kegagalan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit) di era May. Brexit telah menjadi krisis politik terbesar Negeri Ratu Elizabeth.

Seperti diketahui, Inggris telah berulang kali gagal melahirkan kesepakatan Brexit. Anggota parlemen Inggris telah menolak memberikan suara untuk mendukung kesepakatan Brexit yang digagas May dan menolak proposal Brexit sebanyak tiga kali sejak awal tahun lalu.

Ekonomi terbesar kelima di dunia itu masih menghadapi sejumlah opsi ketika membahas Brexit, termasuk keluar secara tertib dengan kesepakatan, keluar dari Uni Eropa (UE) tanpa kesepakatan, mengadakan pemilihan umum atau referendum kedua yang pada akhirnya dapat membatalkan keputusan tahun 2016 untuk meninggalkan blok.

Inggris dan Irlandia Utara secara resmi dijadwalkan untuk keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober 2019.

Namun sebelumnya, Johnson yang terkenal sangat mendukung Brexit telah menyatakan bahwa negaranya akan meninggalkan UE dengan atau tanpa kesepakatan tepat waktu.

Johnson juga mengatakan akan bertanggung jawab untuk mempersiapkan Inggris menghadapi kemungkinan keluar tanpa kesepakatan (no-deal) bila terpaksa terjadi. Dia mengatakan penundaan Brexit akan berarti kekalahan.

Namun, Brexit tanpa kesepakatan selama ini dihindari parlemen, pemerintah, hingga pelaku usaha. Sebab, hal tersebut akan menimbulkan kekacauan dan mengganggu perekonomian Inggris. Inggris dan UE juga akan harus berdagang menggunakan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tanpa keistimewaan yang dimiliki sekarang bila Brexit no deal terjadi.

Parlemen Inggris sendiri telah mengindikasikan akan memblokir Brexit tanpa kesepakatan atau no deal.

Selain itu, Johnson juga dihadapkan pada masalah memburuknya peringkat Inggris sebagai pusat keuangan dunia akibat kekacauan Brexit.

Berdasarkan hasil sebuah survei yang dilakukan terhadap para eksekutif keuangan oleh Duff & Phelps, yang diumumkan Selasa (28/5/2019) lalu, peringkat London sebagai pusat keuangan utama dunia telah merosot akibat Brexit.

Ada sebanyak 180 eksekutif dari bidang manajemen aset, ekuitas swasta, dana lindung nilai (hedge funds), perbankan, dan broker yang disurvei.

Lebih dari setengah responden sekarang ini memilih New York sebagai pusat keuangan utama dunia. Jumlah itu naik 10% dari 2018. Sementara itu, hanya 36% yang memilih London sebagai pusat keuangan utama dunia, turun 17% dari tahun lalu.

“Tahun lalu, Brexit memberikan bayangan ketidakpastian atas ekonomi Inggris; sekarang telah meningkat menjadi krisis besar-besaran,” kata Duff & Phelps, mengutip Reuters.

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com