Direktur Eksekutif Indikator Politik indonesia, Burhanuddin Muhtadi mengatakan, tujuan utama dari proses quick count atau hitung cepat adalah untuk memantau proses penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS). Quick count adalah mekanisme agar tidak terjadi kecurangan.
“Quick count memang populer di negara yang menggunakan sistem proporsional. Dimana dalam sistem proporsional, proses penghitungan dan rekapitulasi suara berlangsung selama 30 hari dari tingkat TPS ke tingkat pusat. Sehingga kami coba merangkai masuk dimana quick count tujuan utamanya adalah untuk memantau proses penghitungan suara di TPS sample agar tidak terjadi kekurangan, jadi sebagai alat kontrol juga,” papar Burhanuddin dalam diskusi bertajuk ‘Plus Minus Quick Count’ di Graha Mandiri, Jakarta Selatan, Senin (7/4)
Ditambahkan, semakin panjang jenjang rekapitulasi dan penghitungan suara pada sistem proporsional terbuka membuat tingkat kecurangannya semakin banyak. Sementara pada sistem distirk, tidak ada proses rekapitulasi berjenjang sehingga potensi penghitungan dan rekapitulasi suara di sistem distrik lebih kecil dibandingkan di negara dengan sistem proporsional.
“Oleh karenanya dikenal ‘quick count‘ supaya diharapkan tidak ada gerilya oleh tuyul-tuyul politik yang mau mempermainkan perolehan suara meskipun kami juga menggunakannya TPS sample,” imbuhnya.
Burhanuddin juga menambahkan bahwa quick count juga bisa dijadikan second opinion, karena quick count mendapatkan data dari TPS langsung sebelum itu dibawa ke jenjang berikutnya.
“Jadi ini yang suka dilupakan bahwa sebenarnya quick count merupakan bagian dari kontrol. Tapi tentunya ada syaratnya bahwa proses ini bisa jadi alat kontrol jika ‘quick count’ dilakukan dengan metode yang benar. Sample kami dalam quick count adalah 2.000 TPS dari total TPS yang ada sebanyak 546.278,” jelasnya.
Seperti diketahui, MK membatalkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif (Pileg) pasal 247 ayat 2. Dengan pembatalan itu, hasil survei dan jajak pendapat tentang pemilu tetap boleh dilakukan pada masa tenang.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Hamdan Zoelva saat membacakan putusan uji UU Pileg di Gedung MK.
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menjelaskan, pertimbangan Mahkamah memutus hal tersebut karena, pada 2009 lalu, MK pun pernah membatalkan aturan yang sama yang tertuang dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pileg.
“Putusan tersebut mutatis mutandis berlaku pula terhadap permohonan a quo,” ujar Maria.
MK berpendapat, survei maupun penghitungan cepat hasil pemungutan suara adalah bentuk pendidikan, pengawasan dan penyeimbang penyelenggaraan pemilu.
Dikatakannya, pengumuman hasil survei pada masa tenang juga tidak mengganggu ketertiban umum sejauh dilakukan sesuai prinsip metodologis-ilmiah.
Selain membatalkan aturan tersebut, MK juga membatalkan aturan pemidanannya yang dituang dalam Pasal 291 UU Pileg yang berbunyi “Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang pemilu dalam masa tenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 247 ayat (2), dipidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.”
Uji UU diajukan oleh Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) pada Januari 2014 lalu. Melalui UU tersebut, KPU juga membuat PKPU Nomor 23 Tahun 2014 yang melarang media dan lembaga survei mengumumkan hasil survei pada masa tenang pemilu, yaitu pada 6, 7, dan 8 April 2014 mendatang. (bs/ip)
Tinggalkan Balasan