INDOPOLITIKA – Sejak 27 Oktober 2023, Jalur Gaza kembali membara setelah Israel melancarkan invasi darat sebagai respons terhadap serangan Hamas bertajuk Thufan Al-Aqsa pada 7 Oktober.

Serangan ini disebut sebagai bagian dari perjuangan panjang rakyat Palestina melawan pendudukan Israel. Invasi tersebut memicu kehancuran besar di Gaza.

Menurut laporan World Food Programme, kondisi kemanusiaan di wilayah tersebut sangat memprihatinkan. Selama hampir dua bulan, tidak ada bantuan kemanusiaan maupun komersial yang dapat masuk.

Resolusi gencatan senjata dari Majelis Umum PBB pada 27 Oktober—yang didukung 121 negara—tidak digubris oleh pihak-pihak yang berkonflik.

Pada 2024, Mahkamah Internasional (ICJ) dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan putusan penting. ICJ menyatakan bahwa pendudukan Israel di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur melanggar hukum internasional, dan memerintahkan penghentian serangan di Rafah berdasarkan Konvensi Genosida.

Hingga 25 April 2025, lebih dari 51.400 warga Palestina dilaporkan tewas—mayoritas adalah anak-anak dan perempuan. Infrastruktur hancur total. Gaza kini lumpuh tanpa pasokan makanan, air, bahan bakar, atau layanan kesehatan.

Sebagian besar warganya hidup sebagai pengungsi internal. “Tidak ada tempat aman,” demikian bunyi laporan berbagai lembaga kemanusiaan.

Dua rencana rekonstruksi Gaza kini bersaing di panggung global. Rencana pertama—didukung 22 negara Liga Arab dan dipelopori Mesir—menyerukan pembangunan kembali Gaza dengan partisipasi warga Palestina sendiri, mengalokasikan dana hingga 53 miliar dolar AS.

Sebaliknya, rencana kedua—yang dikaitkan dengan Amerika Serikat dan Israel—mengusulkan pembangunan “Riviera Timur Tengah” dengan mengusir penduduk Gaza dan menggantinya dengan kawasan resor elite. Gagasan ini menuai kecaman luas dan dianggap sebagai pelanggaran berat hukum internasional.

Di tengah situasi ini, Indonesia memegang peran penting. Sejak awal, pemerintah dan masyarakat Indonesia konsisten memberikan dukungan bagi Palestina.

Namun blokade ketat membuat bantuan sulit disalurkan. Israel bahkan dituduh menggunakan blokade sebagai “senjata perang” untuk melemahkan rakyat Palestina.

Diplomat senior Bunyan Saptomo mendorong konsep diplomasi total—yakni pendekatan terpadu melalui jalur politik, ekonomi, budaya, dan kemanusiaan. Langkah ini diperlukan agar Indonesia tidak hanya bersuara, tapi juga bertindak konkret dalam mendukung Palestina.

Ada tiga strategi utama yang dapat ditempuh Indonesia:

1. Menekan Israel menghentikan kekerasan, termasuk menggalang dukungan global dan mendesak proses hukum terhadap pemimpin Israel di ICC.

2. Membuka akses bantuan internasional tanpa syarat, melalui jalur alternatif seperti Mesir, Lebanon, atau Laut Mediterania.

3. Mendorong pengakuan internasional atas Negara Palestina, terutama dari negara-negara pendukung solusi dua negara.

Prinsip politik luar negeri bebas aktif, sebagaimana tercantum dalam UU No. 37 Tahun 1999, menjadi dasar bagi Indonesia untuk bertindak fleksibel namun berprinsip.

Gagasan konferensi internasional serupa Kongres Wina atau Berlin bisa menjadi jalan menuju solusi damai yang komprehensif.

Indonesia juga punya rekam jejak dalam mediasi konflik internasional, seperti di Kamboja dan Filipina. Pengalaman ini bisa ditransformasikan dalam isu Palestina.

Presiden Prabowo Subianto pun menunjukkan komitmen kuat. Dalam Antalya Diplomacy Forum 2025 di Turki, ia menyampaikan kritik keras terhadap sikap pasif negara-negara besar dalam menyikapi krisis kemanusiaan di Gaza.

Perjuangan kemerdekaan Palestina bukan sekadar dukungan moral, tetapi juga mandat konstitusional. UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa penjajahan di dunia harus dihapuskan.

Seperti kata Bung Karno di PBB pada 1960, “Dalam kedaulatan dan kemerdekaan nasional terdapat sesuatu yang kekal, yang lebih berharga dari permata.” (Rzm)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com