INDOPOLITIKA – Anggota DPR dari Fraksi PDIP, Adian Napitupulu, memilih untuk tidak terlibat dalam perdebatan mengenai Tatib DPR yang telah disahkan dalam rapat paripurna pada Selasa (4/2/2025) lalu. Menurutnya, jika ada yang tidak setuju, Tatib tersebut bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Ya, bisa saja dibawa ke MK kalau tidak setuju. Prosesnya mudah, ada mekanismenya. Kalau tidak setuju, ada cara untuk menentangnya,” ujar Adian di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (6/2/2025).
Adian menambahkan, di Indonesia terdapat mekanisme judicial review jika seseorang merasa bahwa suatu hal bertentangan dengan konstitusi.
“Jika bertentangan dengan konstitusi, bawa saja ke MK. Kami ingin agar seluruh masyarakat dapat mengikuti mekanisme tersebut. Dengan demikian, ketidaksetujuan bisa disalurkan melalui jalur konstitusional,” ujar Adian.
Adian juga menambahkan bahwa dalam mengambil keputusan, DPR seharusnya bisa melakukan evaluasi terhadap keputusan-keputusan yang telah dibuat.
Pernyataan ini disampaikannya sebagai tanggapan atas isu terkait kemungkinan intervensi terhadap pejabat yang ditetapkan dalam rapat paripurna.
“Kalau logikanya, menurut saya seperti itu. Misalnya saya memutuskan sesuatu untuk Anda, lalu Anda berhalangan, bolehkah saya mengevaluasi keputusan saya? Yang bisa mengevaluasi keputusan itu adalah pihak yang membuat keputusan,” jelas Adian.
Sebagai informasi, DPR RI baru saja melakukan revisi terhadap Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 mengenai Tata Tertib DPR, yang intinya mempertegas peran pengawasan DPR terhadap calon-calon penyelenggara negara yang pengangkatannya melalui proses politik di DPR.
Penyusunan revisi ini, termasuk terhadap hakim MK, hakim Agung, pimpinan KPK, komisioner lembaga negara lainnya, bahkan Gubernur serta Dewan Gubernur Bank Indonesia, dianggap sebagai bentuk intervensi yang keliru terhadap prinsip check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Revisi tersebut dianggap sebagai cara DPR untuk menambah kewenangannya. Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menilai bahwa DPR gagal memahami makna dari frasa pengawasan yang menjadi salah satu fungsi utama DPR sesuai dengan Pasal 20A (1) UUD Negara RI 1945.
Fungsi pengawasan DPR sejatinya adalah untuk mengawasi organ pemerintahan lain dalam pelaksanaan undang-undang.
“Artinya, yang diawasi oleh DPR adalah pelaksanaan UU, bukan kinerja personal apalagi kasus-kasus yang seringkali menimbulkan konflik kepentingan berlapis,” ucapnya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (6/2/2025).
Menurutnya, seharusnya DPR fokus pada tugas utamanya, yaitu pembentukan UU, pengawasan terhadap pelaksanaan UU yang telah dibentuk, dan fungsi budgeting yang lebih berkualitas.
Bukan malah merancang ranjau-ranjau politik dan kekuasaan yang tidak ditujukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk memaksa kepatuhan buta pada parlemen dan selalu membuka ruang untuk transaksi dan negosiasi. (Rzm)
Tinggalkan Balasan