INDOPOLITIKA – Staf Sekretariat Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, yakni Kusnadi, membenarkan bahwa dirinya pernah menerima pesan WhatsApp yang berisi bocoran dokumen pemeriksaan KPK terkait buronan Harun Masiku.

Meskipun ia mengakui pesan itu diterima, Kusnadi berdalih bahwa ia tidak melihat isi dari dokumen tersebut.

Informasi mengenai pesan tersebut terungkap dari bukti percakapan antara nomor Kusnadi dengan kontak bernama Sri Rejeki Hastomo. Menurut Kusnadi, nama kontak itu merujuk pada nomor milik kesekretariatan DPP PDIP, yang katanya dipegang oleh staf sekretariat.

Ketika jaksa bertanya, “Kalau yang nama Sri Rejeki Hastomo itu nomor siapa?”, Kusnadi menjawab, “Nomor Kesekretariatan, Pak.”

Saat ditanya lebih lanjut siapa yang memegang nomor tersebut, ia menjelaskan bahwa biasanya nomor itu dipegang oleh para staf, dan kadang bisa juga oleh Satgas jika Hasto sedang tidak di tempat.

Jaksa terus mendesak Kusnadi untuk mengakui, bahkan menampilkan tangkapan layar pesan dari kontak Sri Rejeki yang diterima pada 10 Juni 2024. Dokumen yang dikirim dalam pesan itu disebut bernama “pemeriksaan KPK”.

“Ini, di tanggal 10 ada dokumen yang Saudara terima dari Sri Rejeki Hastomo. Nama file-nya ‘pemeriksaan KPK’. Apakah Saudara pernah menerima ini?” tanya jaksa.

Kusnadi menjawab, “Kurang jelas itu, Pak, screenshot-nya.”

Ia pun tetap bersikeras bahwa dirinya tidak mengetahui isi dokumen tersebut karena mengaku tidak membacanya.

Jaksa menunjukkan sebuah file bernama “pemeriksaan KPK” dan bertanya kepada Kusnadi, “Ini ada file bernama ‘pemeriksaan KPK’. Apakah Saudara pernah menerimanya?”

Kusnadi menjawab, “Kalau di situ ada, berarti memang ada, Pak.”

Jaksa lalu menegaskan, “Jadi Saudara memang pernah menerima file itu. Apakah Saudara tahu isi dari dokumen tersebut?”

Kusnadi menjawab, “Saya tidak tahu isinya, Pak.”

Jaksa kembali bertanya, “Kalau begitu, apa maksudnya dokumen itu dikirimkan kepada Saudara?”

“Ya, saya juga tidak tahu, Pak,” jawab Kusnadi.

Jaksa memastikan, “Itu nomor HP milik Saudara, bukan?”

“Iya,” jawab Kusnadi.

“Apakah Saudara pernah membuka file tersebut dan melihat isinya?” desak jaksa.

“Isi file-nya tidak saya lihat, Pak,” jawab Kusnadi.

Tidak puas dengan jawaban Kusnadi, jaksa terus menggali keterangan dengan membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) nomor 26 milik Kusnadi, yang berkaitan dengan dokumen pemeriksaan Harun Masiku.

“Saudara bilang tidak pernah melihat dokumen itu, tetapi di BAP nomor 26 poin D, Saudara menyatakan bahwa dokumen pemeriksaan KPK terkait HM berisi pemanggilan terhadap Hasto Kristiyanto dalam perkara Harun Masiku. Namun Saudara juga mengatakan tidak pernah membaca dokumen tersebut. Betul?” tanya jaksa, yang langsung dibenarkan oleh Kusnadi.

Jaksa kemudian melanjutkan, “Saudara menyebut dokumen itu berkaitan dengan pemeriksaan Harun Masiku. Siapa HM yang dimaksud?”

“Ya, HM itu Harun Masiku, yang waktu itu sedang viral,” jawab Kusnadi.

Jaksa pun menyindir, “Tadi Saudara bilang tidak membaca dokumen itu, tapi bisa menjelaskan isinya berkaitan dengan Harun Masiku. Dari mana Saudara tahu?”

“Yang saya tahu itu soal pemanggilan saja, Pak,” ujar Kusnadi.

Jeratan terhadap Hasto

Dalam perkara ini, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto didakwa menghalangi proses penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Jaksa menuduh Hasto telah memerintahkan Harun Masiku untuk membuang ponselnya saat operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada tahun 2020. Selain itu, Hasto juga disebut meminta Kusnadi membuang ponselnya ketika Hasto diperiksa di Gedung Merah Putih KPK pada Juni 2024.

Tak hanya itu, Hasto juga didakwa terlibat dalam pemberian suap senilai Rp600 juta kepada mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan. Uang suap tersebut diberikan melalui Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku, serta disalurkan lewat mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina.

Menurut jaksa, tujuan dari suap itu adalah untuk memastikan Harun Masiku ditetapkan sebagai anggota DPR RI periode 2019–2024 melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).

Atas tindakannya, Hasto didakwa telah melanggar ketentuan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). (Rzm)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com