INDOPOLITIKA – Sidang kasus penemuan ladang ganja di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) mengungkapkan fakta mengejutkan. Berdasarkan keterangan polisi hutan, ditemukan 59 titik penanaman ganja di zona konservasi seluas sekitar 1 hektare.

Penemuan ladang ganja ini langsung menarik perhatian publik, yang semakin panas setelah netizen mengaitkan kasus tersebut dengan kebijakan tarif tinggi untuk penerbangan drone di kawasan tersebut.

Seorang pengguna Instagram, @fatihinkhairul32, mengungkapkan kecurigaannya mengenai larangan penggunaan drone di Bromo, yang dikenakan tarif tinggi hingga Rp 2 juta.

Dalam unggahannya, ia mempertanyakan apakah tingginya biaya tersebut justru bertujuan untuk menutupi keberadaan ladang ganja yang terungkap.

“Apa mungkin ini alasan terbangin drone di Taman Nasional bayar 2 JT?” tulisnya, memicu berbagai reaksi dari netizen lainnya.

Netizen lain juga turut berspekulasi, menilai bahwa mahalnya tarif ini mungkin untuk menghalangi masyarakat melakukan dokumentasi, termasuk terhadap aktivitas ilegal di kawasan konservasi.

“Terjawab sudah kenapa nggak boleh pakek drone supaya gak ketahuan ladang ganjanya. Gunakan alasan mengganggu elang Jawa, gunung-gunung lain yg nggak boleh pakek drone perlu si curigai juga,” komentar netizen lainnya.

Dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Lumajang pada Selasa (11/3/2025), tiga saksi dari TNBTS Edwy Yunanto, Yunus Tri Cahyono, dan Untung memberikan keterangan secara daring terkait penemuan ladang ganja. Yunus Tri Cahyono menjelaskan bahwa setiap titik penanaman memiliki luas yang bervariasi, mulai dari 2 hingga 16 meter persegi.

Selain itu, saksi-saksi juga menyoroti dampak buruk penanaman ganja terhadap lingkungan. Yunus menegaskan bahwa kegiatan ini merusak ekosistem kawasan konservasi.

“Penanaman ganja itu merusak ekosistem,” ujar Yunus.

Senada dengan Yunus, saksi Untung menyatakan bahwa tanaman ganja seharusnya tidak ditanam di kawasan konservasi karena mengganggu habitat asli.

“Itu daerah endemik. Tanaman selain endemik tidak boleh ditanam di situ. Penanaman ganja di tempat itu termasuk pelanggaran. Itu merusak,” tegas Untung.

Menurutnya, kawasan tersebut merupakan habitat alami berbagai tanaman khas, seperti pinus dan cemara. Kerusakan pada ekosistem ini membuat pihak TNBTS harus melakukan pemulihan, meski saat hakim menanyakan soal sumber anggaran untuk pemulihan, para saksi mengaku tidak mengetahuinya.

Dalam persidangan, terungkap pula bahwa polisi hutan telah melakukan sosialisasi serta memasang papan peringatan tentang larangan memasuki kawasan hutan konservasi. Namun, papan peringatan tersebut tidak mencantumkan ancaman hukuman, yang membuat warga tidak merasa takut.

Menanggapi hal ini, majelis hakim memberikan ultimatum bahwa jika ladang ganja masih ditemukan di kawasan TNBTS, maka itu dapat dianggap sebagai kesengajaan dan pembiaran.

Sebagai tambahan informasi, Balai Besar TNBTS memang baru saja memberlakukan tarif baru untuk penggunaan drone di kawasan taman nasional. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2024, tarif yang sebelumnya hanya Rp 300 ribu, kini melonjak menjadi Rp 2 juta.

Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar TNBTS, Septi Eka Wardhani, menjelaskan bahwa penyesuaian tarif ini merupakan bagian dari regulasi pemerintah yang berlaku di seluruh taman nasional dan kawasan konservasi di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Dengan terbukanya fakta-fakta ini, semakin banyak pihak yang mendesak agar kebijakan dan pengawasan di kawasan konservasi ditingkatkan untuk mencegah aktivitas ilegal yang merusak alam dan ekosistem.(Chk)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com