INDOPOLITIKA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) Presiden Prabowo sesuai dengan Visi-Misinya sebagai Presiden RI.

Namun, program ini tidak disertai perencanaan yang jelas dan terukur,  sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkan banyak masalah, mulai dari tragedi keracunan hampir 6000 peserta didik, makanan berbelatung/kecoa, makanan ukuran minim dan tak layak gizi, sampai potensi korupsi dan dugaan konflik kepentingan.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat  wilayah yang MBG-nya bermasalah  terjadi  di 14 provinsi dengan beragam persoalan.

Sekjen FSGI, Fahriza Marta Tanjung menegaskan, data tersebut  berasal dari jaringan FSGI di berbagai daerah yang daerahnya meliputi Pangkal Pinang (Bangka Belitung); Garut, Cianjur, Bandung Barat (Jawa Barat);  Sukoharjo, Solo, Sragen (Jawa Tengah), Lamongan, Madura, Ngawi dan Situbondo (Jawa Timur).

Kemudian Sleman, Gunung Kidul (D.I Yogjakarta); DKI Jakarta, Lebong (Bengkulu); Kota Batam (Kepulauan Riau); Polewali Mandar (Sulawesi Barat), Kabupaten Banggai (Kepulauan Sulawesi Tengah); Bau Bau (Sulawesi Tenggara);  Kabupaten Bireuen (D.I. Aceh);  Kupang dan Sumba (NTT), Sumbawa (NTB); Kabupaten Nunukan (Kalimantan Utara).

Kasus Keracunan MBG terbaru(22/9) Cipongkor Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat yang korbannya mencapai 364 siswa, Bupati Bandung Barat sampai menetapkan sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa) dan menghentikan MBG untuk dievaluasi agar tak ada lagi korban.

Ada anak korban yang bahkan sampai mengalami kejang hingga BAB bercampur darah.

“MBG harus segera dievaluasi total pemerintah dan selama proses evaluasi program MBG harus dimoratorium dahulu. Ini soal menunggu giliran keracunan saja setiap daerah karena memang program MBG ini lemah perencanaan dan pengawasannya,” ujar Sekjen FSGI, Fahriza Marta Tanjung.

Ditambahkan Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti MBG semakin ironis. Alih-alih mau mengevaluasi serius apalagi menghentikan, anggaran program MBG tahun 2026 malah disahkan DPR sebesar Rp 335 T yang tahun 2025 hanya Rp 71 T.

“Itupun, baru terserap 22% pada awal Sepetember 2025. Jangan mengejar target capaian jumlah tapi mengabaikan keselamatan anak-anak Indonesia,” urainya.

Kasus-kasus MBG bermasalah: Ada Resiko untuk guru dan sekolah serta potensi kerugian negara

FSGI mengumpulkan informasi pelaksanaan MBG di berbagai daeerah di Indonesia, mulai dari makanan sudah basi, orangtua diminta membawakan anaknya makanan sesuai instruksi sekolah, makanan ada belatung/kecoa, makanan basi, buah jeruk busuk,  buah semangka setipis tisu, sampai makanan mubazir hingga ratusan porsi setiap harinya di satuan Pendidikan.

”Bahkan ada kebijakan yang memberikan resiko pada sekolah dan guru, baik resiko Kesehatan maupun ekonomi, misalnya guru di Sleman diminta cicipin MBG sebelum diberikan ke siswa demi cegah keracunan pada anak, namun beresiko pada gurunya. Atau sekolah diminta Ganti rugi ketika wadah stainless makan rusak/penyok dan hilang maka sekolah wajib mengganti Rp 80 ribu meski harga jual di platform daring hanya Rp 40 ribu (kasus Ngawi, Jawa Timur),” ujar Retno Listyarti.

Untuk beberapa kota besar, termasuk Jakarta belum ada kasus keracunan, namun ditemukan makanan yang mubazir setiap harinya karena ada ratusan anak yang setiap harinya tidak mau mengkonsumsi MBG.

Kalau pun di konsumsi hanya diambil buahnya saja  atau lauknya saja.  Sehingga banyak guru mengaku setiap hari mengkonsumsi MBG bahkan juga harus memisahkan nasi, ayam/telur, sayur, dll agar memudahkan dibawa pulang bagi yang mau sehingga  tidak mubazir.

“Padahal, kasus seperti ini, makanan yang mubazir tersebut, akan berdampak pada adanya potensi kerugian negara dan bisa menjadi temuan saat ada audit program yang menggunakan uang negara seperti MBG ini,” urai Fahriza.

Peserta didik yang menjadi korban MBG ada di semua jenjang Pendidikan, mulai dari PAUD sampai SMA/SMK. Salah satu kasus di TK terjadi  di Lebong Bengkulu dan di Pangkal Pinang.

Untuk Pangkal Pinang dapat dicegah karena guru melarang dibagikan karena menu ayamnya berbau tidak sedap  seperti basi, sehingga para guru memutuskan untuk tidak diberikan pada anak-anak.

Akibatnya anak-anak menahan lapar karena hanya bisa minum susu dan air mineral, karena pihak sekolah sebelumnya melarang anak membawa bekal, mengingat ada jatah MBG.

Kasus di Kabupaten Garut adalah kasus keracunan massal dengan jumlah korban tertinggi di banding kasus-kasus sebelumnya di daerah lain, yaitu mencapai 657 korban yang terdiri dari pelajar SMP, SMA dan Madrasah Aliyah (MA).

“Kalau jumlah korban menurut rilis pemerintah Adalah 5.360 korban, maka korban di Garut mencapai 12% dari total korban, ini tragedy,” jelasnya.

Kasus temuan belatung dan makanan basi terjadi di SDIT dan SMPIT Azkiya Kabupaten Bireuen (Aceh)  sehingga anak-anak yang menyantap mengalami sakit perut.  Sedangkan temuan kecoa yang akhirnya diidentifikasi sebagai jangkrik terjadi di salah satu SMAN di Kota Batam.

FSGI dorong MENKEU Alihkan Anggaran MBG 2025 tidak terserap untuk Pendidikan

Besarnya anggaran MBG yang dikelola Badan Gizi Nasional (BGN) ternyata belum terserap optimal, dimana  sampai dengan September 2025 anggaran MBG yang terserap baru 15,7 Triliun dari pagu anggaran yang mencapai 71 Triliun atau sekitar 22%. Bahkan anggaran 6 Triliun untuk membangun 1.542 SPPG belum terserap sama sekali.

Menkeu Yudhi Purbaya Sadewa mengancam akan mengambil alih anggaran yang tidak terserap tersebut. Jika sampai dengan Oktober 2025 hitungan penyerapan anggaran MBG masih rendah maka akan dialihkan dan disebarkan ke tempat lain atau untuk membayar hutang dan mengurangi defisit APBN.

Sehubungan dengan pernyataan Menkeu tersebut, FSGI mendorong agar anggaran MBG yang tidak terserap tersebut dialihkan ke pendidikan.

Misialnya untuk peningkatan kualitas guru melalui berbagai pelatihan. Pada tahun 2025 ini, pelatihan Pembelajaran Mendalam untuk Kepala Sekolah Sasaran dan Guru Sasaran sepenuhnya ditanggung oleh sekolah masing-masing.

Baik melalui BOS Kinerja maupun BOS Reguler dengan jumlah siswa lebih dari 400. Bagi sekolah tertentu, anggaran sebesar 2 juta – 4 juta per orang dirasa memberatkan.

Selain itu, pada tahun 2025 ini,  biaya-biaya koordinasi kegiatan antara Kementerian dengan sekolah juga tidak dibiayai sepenuhnya oleh Kementerian lagi. Sekolah diminta untuk melakukan sharing pembiayaan. Padahal tidak mudah bagi sekolah untuk mengeluarkan pembiayaan tertentu melalui BOS yang RKAS-nya sudah disiapkan jauh-jauh hari. Apalagi kegiatan koordinasi dengan Kementerian tidak berkaitan langsung dengan proses belajar mengajar di kelas maka rawan disalahgunakan.

Rekomendasi FSGI:

  1. FSGI mendesak Pemerintah untuk mengevaluasi total program MBG dengan melibatkan sekolah, pendidik, peserta didik dan orangtua peserta didik agar mendapatkan masukan berdasarkan kondisi lapangan yang dihadapi sejak program ini berjalan. Mengingat mereka adalah pihak yang terdampak langsung pada program MBG;
  1. FSGI mendesak selama evaluasi dilakukan maka pemerintah melakukan moratorium atau menghentikan sementara program MBG termasuk memetakan Kembali daerah mana saja yang sebenarnya lebih membutuhkan MBG agar tidak mubazir, ini juga mencegah kerugian uang negara.
  1. FSGI mendorong pemerintah membuka diri kepada public untuk memberikan masukan atas pelaksanaan program MBG dengan beragam permasalahan, karena setiap daerah dan setiap sekolah berbeda kondisinya.
  1. FSGI mendorong Pemerintah tidak mengejar target jumlah penerima MBG namun harus mengedepankan perlindungan anak. Apalagi banyak peserta didik jenjang PAUD yang juga mengalami keracunan dan harus dirawat di Rumah Sakit. Usia PAUD sangat rentan kesehatannya ketika mengalami keracunan, jangan sampai ada korban meninggal baru pemerintah sadar pada perlindungan anak. Semua kekacauan MBG di berbagai tempat sudah semestinya menjadi tanggungjawab pemerintah.
  1. FSGI mengusulkan ke Menteri Keuangan, agar anggaran MBG yang tidak terserap tahun 2025 dapat dialihkan untuk anggaran pendidikan khususnya untuk guru.  Anggaran yang dialihkan ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru khususnya tunjangan bagi guru honorer dan tunjangan profesi guru bagi guru-guru yang sudah memperoleh sertifikat pendidik.

Anggaran ini juga bisa digunakan untuk meningkatkan kompetensi guru melalui pelatihan-pelatihan. Tidak hanya untuk pelatihan pembelajaran mendalam tetapi juga untuk pelatihan-pelatihan bagi guru mata pelajaran yang jumlahnya berkurang semasa Menteri Pendidikan sebelumnya karena fokus pada pendidikan guru penggerak. (Red)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com