INDOPOLITIKA – Gempa dahsyat bermagnitudo 7 baru saja mengguncang California, Amerika Serikat, dan kembali memunculkan kekhawatiran global terhadap potensi gempa besar di zona megathrust, termasuk di Indonesia.
Di tanah air, diskusi mengenai potensi gempa di zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut kembali mencuat, seperti halnya saat gempa dan tsunami Aceh 2004.
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menegaskan bahwa pembahasan ini seharusnya tidak menimbulkan kepanikan, melainkan mendorong langkah mitigasi bersama.
“Informasi soal potensi megathrust ini bukanlah peringatan dini bahwa gempa besar akan segera terjadi, melainkan pengingat agar mitigasi dilakukan lebih serius,” ujarnya (7/12/2024).
Daryono juga menegaskan bahwa gempa M7,1 yang terjadi di Tunjaman Nankai, Jepang, pada 8 Agustus 2024 tidak memiliki hubungan langsung dengan zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut. Namun, ia memandang pembahasan potensi gempa besar di Indonesia penting mengingat adanya risiko seismic gap di wilayah tersebut.
Seismic Gap dan Risiko Gempa Besar di Indonesia
Daryono menjelaskan, sejarah mencatat bahwa seismic gap atau jeda waktu tanpa gempa besar di zona Megathrust Selat Sunda sudah mencapai 267 tahun sejak terakhir terjadi pada 1757. Sementara itu, seismic gap di Mentawai-Siberut sudah berlangsung 227 tahun sejak gempa terakhir pada 1797.
Sebagai perbandingan, seismic gap di Tunjaman Nankai, Jepang, baru mencapai 78 tahun sejak gempa besar terakhir pada 1946. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia harus lebih serius dalam mempersiapkan mitigasi karena rentang waktu seismic gap di Selat Sunda dan Mentawai-Siberut jauh lebih lama.
“Gempa besar di kedua wilayah tersebut memang tinggal menunggu waktu, mengingat segmen gempa di sekitarnya sudah melepaskan energinya, sementara Selat Sunda dan Mentawai-Siberut belum,” ujar Daryono. Namun, ia menekankan bahwa pernyataan ini bukan berarti gempa besar akan segera terjadi dalam waktu dekat.
Langkah Mitigasi BMKG untuk Zona Megathrust
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyatakan bahwa isu megathrust bukanlah hal baru, tetapi BMKG terus mengingatkan agar masyarakat lebih siap menghadapi dampaknya.
“Tujuannya adalah mendorong tindakan mitigasi, bukan hanya membahas ancamannya saja,” ujarnya.
BMKG telah mengambil beberapa langkah mitigasi, antara lain:
-
Pemasangan Sistem Peringatan Dini Tsunami (InaTEWS); Sensor-sensor InaTEWS dipasang di berbagai zona megathrust untuk mendeteksi dini potensi tsunami.
-
Edukasi dan Pendampingan Pemda: BMKG bersama pemerintah daerah menyiapkan jalur evakuasi, sistem peringatan dini, dan shelter tsunami, sembari mendidik masyarakat lokal maupun internasional.
-
Pengawasan Sistem Peringatan Dini: Sirine tsunami yang dihibahkan kepada pemda dicek secara berkala setiap tanggal 26 setiap bulan. Meski sebagian besar berfungsi, beberapa ditemukan tidak aktif.
-
Penyebarluasan Informasi: BMKG bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk memastikan informasi bencana cepat sampai ke masyarakat.
Tinggalkan Balasan