guruh-soekarnoputraGotong royong adalah intisari peradaban nusantara, gotong royong juga merupakan watak dan jatidiri nusantara,gotong royong adalah modal sosial bangsa Indonesia. Sejatinya Indonesia negara gotong royong, tercermin dari perilaku rakyatnya dalam kehidupan sehari-hari dan perjuangan kemerdekaan yang ikhlas tanpa tujuan-tujuan kekuasaan atau kekayaan. Sayangnya hari ini bangsa Indonesia telah jauh dari watak dan jatidirinya, gotong royong tidak lagi mudah ditemui, bahkan keberadaannya hanya menjadi jargon politik. Demikian disampaikan oleh Abdul Muthalib, pengantar diskusi rutin bulanan di Guru Sukarno Putra Center pada 02 februari 2014.

Sejatinya Gotong royong yang terjadi dan menjadi budaya dalam masyarakat bukan hanya sebuah kegiatan yang dilakukan secara bersama. Banyak unsur yang terdapat dalam gotong, selain kebersaamaan, ada kebersatuan sepenanggungan dan ada juga unsur ketuhanan dan spritualitas.Ini merupakan spirit untuk menjalani kehidupan, menyelesaikan masalah, dan mensyukuri segala kebaikandan kemulyaan secar abersama.Sebagai jati diri bersama, gotong royong adalah cerminan satu untuk semua dan semua untuk satu.Tutur Guruh Sukarno putra dalam diskusi tersebut.

Gotong royong telah tergerus akibat sistem dan kepemimpinan Indonesia selama setengah Abad lebih yang secara sengaja tidak berusaha mempertahankan dan melestarikannya. Gotong royong telah dikemas oleh para elit penguasa dan politisi menjadi jargon politiknya, bahkan salah satu Parpol besar di Indonesia yang bersuara lantang gotong royong, faktanya tidak mempraktekkan gotong royong itu sendiri malah hanya menjadikan bahan dagangan politiknya. Lebih miris lagi saat ditemukan di lapangan banyak caleg bertebaran dan melakukan klaim-klaim kerja gotong royong masyarakat dalam membangun desa sebagai kerja politik dan sumbangan besarnya, sungguh tidak tahu malu.Ungkap Firdaus, slaah satu peserta diskusi.

Sebagai watak jati diri bangsa gotong royong memang tidak sepenuhnya hilang, hanya saja gotong royong telah mengalami perubahan yang mendasar dari yang semula adalah sebuah sistem kehidupan, saat ini telah tereduksi dan berubah menjadi sebuah rasa belas kasihan. Semangat gotong royong masyarakat masih terlihat hanya pada peristiwa tertentu yang menggugah rasa iba seperti kasus koin prita, juga kasus bencana seperti banjir Jakarta, Sinabung, Tsunami dan sebagainya. Gotong royong saat ini telah luntur dan tereduksi sebegitu rupa akibat perilaku penguasa dan para elit politik.

Ali Syukron salah satu pemateri diskusi, mengutip teori Prof. Edi Suarsono bahwa gotong royong seharusnya tercermin dalam triple co yaitu co ownership (rasa saling memiliki), co determination (ikut menentukan kebijakan), co responsibility (rasa saling bertanggungjawab). Dengan adanya saling memiliki maka akan melahirkan rasa tulus dan ikhlas dalam memperjuangkan, maka rakyat akan merasa sellau terlibat dalam menentukan kebijakan dan nasibnya, tentu saja karena punya rasa memiliki maka semua memiliki rasa tanggungjawab. Tidak seperti saat sekarang dimana ketika terjadi peristiwa buruk bahkan sekedar banjir DKI Jakarta saja pemerintah saling tuding, lempar tanggungjawab, dan saling menyalahkan.

Gotong royong yang seharusnya menjadi watak dan jatidiri bangsa telah hanya menjadi jargon politik, para elit politik dan penguasa benar-benar telah mereduksi maknanya, alih-alih mempraktikkannya. Gotong royong yang seharusnya berjalan sebagai sistem kehidupan masyarakat tekah dikemas menjadi rasa iba dan belas kasihan sesama. Padahal sejatinya gotong royong merupakan spirit untukmenjalanikehidupan, menyelesaikanmasalah, dan mensyukuri segala kebaikan dan kemulyaan secara bersama, yang tercermin dalam lima sila pancasila. (ris/JBn)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com