Namun pada kenyataannya, jauh panggang dari api. Gus Dur tak bisa diajak kompromi. Di awal penyusunan kabinet, misalnya, Amien Rais meminta Menteri Keuangan harus dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan orangnya adalah Fuad Bawazier. Akan tetapi, Gus Dur menolaknya.
Titik kulminasi kegeraman partai koalisi saat Jusuf Kalla (JK) dan Laksamana Sukardi dipecat. Keduanya dituduh melakukan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), tapi Gus Dur menolak merinci pernyataannya. Isu ini direspons cepat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Semua kekuatan yang dulu sempat berselisih menjadi satu; Golkar dan PDIP.
Dalam dokumen yang saya temukan, terdapat notulensi  rapat di rumah Arifin Panigoro pada 22 Juni 2000 yang ditulis oleh Priyo Budi Santoso kepada Akbar Tandjung. Priyo mengakui 70-80 persen di dalam catatan itu adalah idenya, tapi menolak mengakui bahwa ia yang menulis.
Fakhruddin, Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) mengakui ada beberapa pertemuan rapat penjatuhan Gus Dur di rumah Arifin Panigoro dan Fakhruddin pun terlibat dalam beberapa rapat. Noviantika Nasution, Bendahara PDIP pun mengakui ada banyak rapat dan ia mengaku tahu rapat yang terjadi di rumah Arifin.
Golkar memainkan peran sentral, karena bukan hanya jumlah kursi di DPR yang sangat besar, melainkan juga koneksi ke jejaring mahasiswa. Sebab, dalam sejarah pelengseran kekuasaan dibutuhkan kekuatan parlementer dan ekstraparlementer.
Tinggalkan Balasan