Dengan akumulasi perlawanan ini, Gus Dur dipaksa harus menyerah. Sayangnya Gus Dur tak menyerah, ia justru membuat dekrit sebagai upaya perlawanan terakhirnya—yang sebenarnya saya yakin ia sudah tahu akan kalah. Poin dekrit kontroversi adalah pembubaran parlemen. Pembaca dekrit tersebut, Yahya Cholil Staquf meyakini bahwa poin pembubaran parlemen merupakan ide Gus Dur sendiri. Meski teman-teman Gus Dur di Forum Demokrasi yang dituduh sebagai pembisik menolak poin tersebut.

Setelah 18 tahun

Gus Dur dilengserkan dengan cara seolah-olah konstitusional, aktor dan konfigurasi politik Indonesia hari ini masih sama. Ini membuktikan betapa kuatnya kekuatan oligarki Orde Baru mencengkram. Gus Dur membuktikan bahwa politik tanpa kompromi dengan niat yang tulus membersihkan ‘virus’ oligarki Orde Baru sebenarnya sangat bisa dilakukan. Gus Dur ingin membuat sejarah dan peradaban bahwa politik tanpa transaksi dapat dilakukan. Prasyaratnya adalah kemauan, kesiapan, dan keberanian.

Gus Dur memiliki itu, hanya saja Gus Dur kekurangan salah satu syarat yakni konsolidasi kekuatan baru belum terbentuk dengan kuat. Syarat itu mutak diperlukan dalam politik, tanpa hal itu seberapa besar pun niat baik untuk membersihkan oligarki, akan malah justru terseret dalam lingkaran tersebut.

Sebab, Orde Baru bukan hanya manusianya, melainkan juga cara pikir dan perilaku yang tidak demokratis.   Kita tak mau bila demokrasi di Indonesia hanya bersifat teknis dan juga transaksional. Gus Dur dalam usahanya mendemokratisasi Indonesia menempatkan rakyat sebagai subjek yang berdaulat. Bukan seperti yang selama ini masih terjadi, yang sah berdaulat hanya pemerintah dan partai politik. Rakyat hanya diakui dan dibutuhkan ketika pemilu berlangsung dan banyak transaksi di belakangnya.

Sungguh tak memanusiakan dan juga sebuah peradaban politik yang dangkal. Dari Gus Dur, kita belajar tentang konsistensi sikap. Ketika masih di luar kekuasaan, ia terus membentuk, memperjuangkan, dan merawat idealismenya—terutama tentang demokrasi— dan ketika berada di dalam kekuasan, Gus Dur memperjuangkan idealismenya agar dapat terwujud.

Buku ini ditulis, seperti yang dikemukakan Alissa Wahid, bukan untuk melakukan pembalasan dendam, melainkan sebagai pelajaran agar kita tak selalu diwarisi awan gelap masa lalu dan catatan sejarah harus diluruskan. Sebab, tanpa membaca dan mengungkap sejarah, masa depan hanya spekulasi keinginan dan angan-angan.{**}

Sumber: NU Online

Penulis adalah jurnalis independen dan penulis buku Menjerat Gus Dur (2019)

 

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com