INDOPOLITIKA.COM – Indonesia mungkin terlihat cocok untuk bergabung dengan BRICS yang diperluas kelompok negara berkembang yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan.
Negara Asia Tenggara berpenduduk lebih dari 270 juta jiwa ini merupakan negara berkembang utama yang menurut beberapa perkiraan dapat masuk dalam jajaran lima besar ekonomi dunia pada pertengahan abad ini.
Namun, ketika Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa mengumumkan perluasan keanggotaan BRICS di Johannesburg minggu lalu, Indonesia tidak termasuk dalam daftar tersebut, yang juga mencakup Argentina, Mesir, Etiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Mengutip Aljazeera, keputusan Indonesia untuk tetap berada di luar BRICS meskipun memiliki banyak kesamaan dengan negara-negara berkembang lainnya mencerminkan kekhawatiran yang sudah berlangsung lama untuk terjerat dalam aliansi geopolitik dan juga ketidakpastian mengenai keuntungan ekonomi yang akan diperoleh dari keanggotaan BRICS, ujar para analis.
“Ini tidak terlalu mengejutkan, karena banyak analis dan mantan diplomat telah memperingatkan agar tidak bergabung dengan BRICS dan manfaat ekonominya tidak jelas dan nyata, sementara biaya politik dan ekonomi akibat reaksi dari Barat cukup pasti,” kata Radityo Dharmaputra, seorang pengajar di Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga.
Dharmaputra dari Universitas Airlangga mengatakan bahwa salah satu kekhawatiran Indonesia adalah optik masuk ke dalam pengelompokan dengan negara-negara seperti Cina dan Rusia.
“Citra Indonesia yang dilihat sebagai bagian dari dunia China-Rusia akan menjadi masalah,” katanya.
“Terutama karena Indonesia sangat menekankan kebijakan luar negerinya yang independen dan aktif. Bagaimana Anda bisa menjual hal tersebut kepada negara-negara lain, sementara Anda berada dalam kelompok yang sama dengan Cina dan Rusia?”
Indonesia adalah salah satu anggota pendiri Gerakan Non-Blok selama Perang Dingin dan selama beberapa dekade telah berpegang pada pendekatan “bebas-aktif”, atau bebas dan aktif, terhadap kebijakan luar negeri, termasuk mengambil peran dalam menengahi perdamaian di seluruh dunia, seperti saat Jokowi berkunjung ke Rusia dan Ukraina pada bulan Juni tahun lalu.
Yohanes Sulaiman, seorang dosen hubungan internasional di Universitas Jenderal Achmad Yani di Bandung, mengatakan bahwa “tidak ada manfaatnya” bagi Indonesia untuk bergabung dengan BRICS.
“Kami belum melihat hasil nyata dari BRICS selain sebagai pengelompokan untuk melawan Amerika Serikat dan tampaknya tidak ada kemajuan konkrit yang dibuat,” katanya kepada Al Jazeera.
Meskipun BRICS telah membentuk dirinya sebagai sebuah blok untuk memperjuangkan negara-negara Selatan – membentuk Bank Pembangunan Baru (NBD) sebagai alternatif dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia dan bahkan melontarkan kemungkinan mata uang baru – persepsi bahwa pengelompokan ini adalah sebuah aliansi anti-Barat yang sedang berkembang dapat mempersulit hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat.
Minggu lalu, Pemerintah Indonesia dan perusahaan pembuat pesawat terbang Amerika Serikat, Boeing, sepakat untuk menyelesaikan penjualan 24 jet tempur F-15EX ke Jakarta setelah kunjungan Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto ke Washington, DC.
Sulaiman dari Universitas Jenderal Achmad Yani mengatakan bahwa lebih masuk akal bagi Indonesia untuk menjadi bagian dari kelompok-kelompok seperti ASEAN dengan negara-negara tetangganya, daripada mengelompokkan negara-negara yang tidak memiliki hubungan historis atau perdagangan dengan Indonesia.
“Indonesia sudah memiliki hubungan dengan Cina, dan Rusia sekarang menjadi subyek boikot internasional, jadi tidak ada manfaatnya,” katanya.
“Afrika Selatan sedang menghadapi krisis keuangan dan kita juga bisa bekerja sama secara langsung dengan negara-negara lain seperti India.”
Di bawah kepresidenan Jokowi, Indonesia telah menetapkan target-target pembangunan yang ambisius, termasuk pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur dan membangun kapasitas untuk memproses komoditas menjadi produk jadi di dalam negeri, yang merupakan landasan bagi upaya Jakarta untuk mencapai produk domestik bruto (PDB) sebesar 25.000 dollar AS per kapita pada tahun 2045.
Dharmaputra mengatakan bahwa Indonesia juga mengincar kelompok-kelompok global lain yang menawarkan manfaat yang lebih nyata di bidang-bidang seperti perdagangan, seperti Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang beranggotakan 38 negara.
“Indonesia ingin bergabung dengan OECD dan bergabung dengan BRICS akan menjadi penghalang untuk itu,” katanya.
Sulaiman mengatakan bahwa upaya-upaya BRICS untuk menantang dominasi dollar AS juga mungkin akan dianggap tidak menarik bagi Indonesia.
“Ini adalah keputusan yang sangat rasional,” katanya.
“Semuanya akan sama saja apakah kita bergabung atau tidak,” tandasnya. [Red]