Megawati dan JokowiMenjelang suksesi kepemimpinan pada tahun 2014, partai politik sebagian besar menjadikan sosok Capres sebagai bagian strategi memenangkan Pileg, hampir semua Parpol menawarkan sosok Capresnya ada yang dari kader internal ada yang mencomot dari sosok tokoh nasional. Soal Capres PDIP adalah Parpol yang banyak menjadi sorotan publik, selain elektabilitasnya yang cenderung tinggi PDIP memiliki kader sekelas Jokowi sebagai sosok Capres dengan elektabilitas yang tidak tertandingi dari hasil rilis berbagai lembaga survei. Bahkan Jokowi sering dicatut namanya untuk menjadi salah satu kandidat Capres Parpol lain.

Partai PDIP sampai detik ini belum menentukan siapa Capres 2014, PDIP dalam posisi tidak nyaman dan dilematis antara mengusung Megawati atau Jokowi. Menentukan sosok pilihan publik sangat signifikan bagi Partai PDIP, selain untuk mendongkrak elektabilitas PDIP pada Pemilu Legislatif 2014 juga untuk menyuguhkan figur pemimpin nasional yang menjadi pilihan rakyat, mengingat Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Salah dalam menentukan dan menyodorkan sosok pemimpin nasional dari Partai PDIP kepada publik bisa berakibat fatal terhadap Partai PDIP.

Hasil survei LSIN yang dirilis pada bulan Oktober 2013 juga menunjukkan bahwa tingkat keterpilihan Jokowi sebagai Capres pilihan publik dari PDIP mencapai 35,4%, unggul atas Megawati Sukarno Putri 31,8%, Guruh Sukarno Putra 11,0%, Pramono Anung 2,5%, Puan Maharani 1,9%. Lantas, kenapa PDIP tidak segera mendeklarasikan Jokowi sebagai Capres dari PDIP? di setiap momen penting Megawati Sukarno Putri  selalu memberikan jawaban diplomatis jika dikejar tentang siapa Capres PDIP, Mega menjawab dengan tenang “Capres PDIP ditentukan setelah Pileg April 2014”. Tutur Yasin Mohammad, Direktur LSIN.

Ini artinya PDIP mengambil langkah yang berbeda dengan Parpol lain yang cenderung menjadikan sosok Capres sebagai dagangan politiknya demi merebut simpati publik. PDIP mengalami tingkat ke-pede-an yang memuncak dan percaya atas kinerja kader-kader potensial di internalnya dalam memenangkan Pemilu 2014, kader-kader muda PDIP seperti Ganjar Pranowo, Jokowi, Rieke, justru dijadikan mesin politiknya untuk merebut hati rakyat, sehingga sistem kerja politik Parpol dipastikan berjalan melalui kader-kader yang ada di daerahnya untuk memastikan memenangkan Pemilu legeslatif. Bukan mengandalkan sosok Capres, kehadiran Mega sebagai putra sang fajar dinilai sudah cukup untuk memenangkan Pileg 2014.

Sudah tepatkah langkah yang diambil PDIP? Beberapa pengamat politik mengklaim bahwa elektabilitas PDIP akan stagnan bahkan cenderung menururn jika tidak segera mendeklarasikan Jokowi sebagai Capres.

Yasin Mohammad, menambahkan bahwa kebijakan yang diambil oleh PDIP dengan tidak buru-buru mendeklarasikan Jokowi sebagai Capres PDIP adalah langkah jitu. Hal ini tidak lepas dari kematangan kader-kader internal di dalamnya. Setiap keputusan politik PDIP senantiasa didasari oleh pertimbangan matang dan tidak sembrono, PDIP bukanlah Parpol yang mudah diiming-iming atau ditekan oleh pihak eksternal. Keputusan-keputusan PDIP seringkali diambil secara mengejutkan dan tidak terduga, strategi yang dipakai seringnya adalah injury time decision  dan terbukti ampuh dengan menaruh kepercayaan tinggi pada tim kerja internal.

Lantas bagaimana dengan Jokowi?, Jokowi terlalu jauh melangkah terkait pencapresan dirinya. Apa yang dilakukan oleh Jokowi dengan deklarasi tim relawan pencapresan Jokowi, adanya tekanan dari pengamat dan lembaga survei untuk segera mencapreskan Jokowi, didukung tim sosial medianya, dan membangun citra melalui berbagai media, seolah-olah Jokowi hanya fokus pada pembangunan citra dirinya dibanding melakukan kerja Parpol, dan terlibat di dalamnya untuk menekan dan menyetir PDIP agar segera mencapreskan dirinya. Ini adalah langkah keliru strategi “pencapresan” Jokowi dengan lebih menonjolkan pada upaya membangun citra pribadi, berada di luar Parpol dan berusaha menekan dan menyetir internal PDIP agar memilih Jokowi sebagai Capres.

PDIP dihuni oleh para politisi handal, internalnya cenderung kuat, apalagi jika ditekan oleh pihak luar, barisan PDIP semakin kokoh dan rapat. Itulah kenapa Jokowi menjadi sosok yang tidak menarik di internal PDIP, nampaknya Jokowi lupa bahwa rumus dalam PDIP adalah strategi injury time. Sebab, tingginya elektabiltas Jokowi justru menjadi bumerang bagi PDIP nantinya dan mudah diserang oleh rival-rivalnya jika PDIP buru-buru mencapreskan Jokowi. Dampaknya bukan PDIP meraih kemenangan melainkan malah sibuk bicara tentang Jokowi dan tidak fokus dalam pemenangan Pileg. Upaya Jokowi yang cenderung menyetir PDIP melalui relawan Capres Jokowi juga membuat internal PDIP semakin yakin untuk tidak mencapreskan Jokowi.

Jokowi boleh memiliki elektabilitas tinggi, tapi jika dihitung secara matang elektabilitas Jokowi sebenarnya sama sekali tidak ada dampak terhadap elektabilitas PDIP, sebab elektabiltas Jokowi dibangun atas dasar aspek citra dirinya, upaya untuk melakukan kerja politik melalui mesin Parpol sama sekali tidak terlihat misalnya dalam bentuk sosialisasi dan komunikasi politik atas nama PDIP cenderung tidak terlihat. Kerja politik Jokowi nampak sekali tidak untuk PDIP dan lebih pada membangun personalitinya. Ujar Yasin Mohammad.

Jika pola yang dibangun demikian maka elektabilitas Jokowi tidak bernilai, apa yang dilakukan Jokowi kurang lebih sama dengan Caleg-Caleg PDIP yang berusaha mendulang suara melalui pembentukan citra dirinya. Maka tingginya elektabiltas Jokowi tidak bernilai bagi suara PDIP, kecuali Jokowi adalah seorang Caleg maka elektabiltasnya secara langsung berkontribusi menyumbang suara PDIP. Sosok Jokowi di PDIP menjadi sosok yang rumit dan menjadi ganjalan internal PDIP, adalah langkah tepat PDIP melalui Megawati yang mengambil keputusan pencapresan dideklarasikan setelah Pileg.

Masih mungkinkah Jokowi dicapreskan PDIP?, bisa iya bisa tidak. Apresiasi tinggi tentu akan diberikan oleh internal PDIP andai saja Jokowi lebih fokus pada kerja-kerja partai, melakukan sosialisasi, komunikasi, dan pendidikan politik bersama PDIP, didukung dengan upaya mengurangi penekanan melalui pihak ketiga terhadap internal PDIP dan ikut merapat dalam barisan pemenangan Pileg. Apalagi jika Jokowi mampu menyatukan keluarga Sukarno untuk menjaga trah Sukarno di internal PDIP agar terhindar dari perpecahan internal, dan bersama-sama dengan kader-kader terbaiknya PDIP senantiasa memperjuangkan dan meneruskan ajaran-ajaran serta cita-cita Sukarno, kemudian perlahan namun pasti Jokowi harus mengurangi upaya-upaya pencapresan dirinya. Jika sudah demikian, maka tidak menutup kemungkinan Jokowi menjadi Capres 2014 dari PDIP dan trah Sukarno tetap terjaga di dalam internal PDIP.

Fokus pada pemenangan Pileg sudah menjadi langkah yang wajib bagi PDIP, pencapresan PDIP tentu akan dimunculkan di masa injury time dan akan menjadi kejutan di mata publik. Disaat publik sudah bosan dan muak dengan Capres-Capres yang sudah tebar pesona kesana kemari, Capres PDIP-lah nantinya yang justru akan menjadi sorotan publik. Disinilah PDIP mengambil peran penting dan mengendalikan panggung politik pada Pilpres 2014, apalagi target PDIP mendatang akan mengambil langkah berada di pemerintahan ketimbang menjadi oposan yang selama ini dijalani. Pungkas Yasin Mohammad, Direktur LSIN.  (ris/JBN)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com