Indopolitika.com Dalam sepekan terakhir, kampanye hitam tentang Jokowi semakin gencar. Selain di media sosial, kampanye hitam itu makin marak melalui pesan berantai via SMS ataupun BBM. Topiknya tak hanya soal etnis dan agama. Kini juga melebar ke kepentingan asing.

Pengamat politik  Deni Lesmana dari JariNusa menilai maraknya kampanye hitam ini menandakan kompetitor Jokowi makin panik. “Dalam kampanye, sebar fitnah jadi jalan pintas untuk hambat elektabilitas pesaing,” kata Deni, Senin, (5/5/2014).

Deni mengingatkan, kampanye hitam biasanya berupa fakta yang diplintir makna dan konteksnya. Lebih sering lagi hanyalah fitnah. Jokowi, kata dia, mengalami ketiganya sekaligus.  “Isu agama dan etnik, sepenuhnya fitnah,”  tandasnya.

Sementara itu Drajat Soemarsono aktivis LIRA Banten mengungkapkann, segala jenis kampanye yang memelintir adalah pekerjaan sia-sia. Drajat menyebut isu kepentingan asing yang dituduhkan kepada Jokowi adalah bentuk plintiran peristiwa. “Apa bedanya dengan Prabowo pidato di depan investor atau ketemu Raja Yordania?” ujarnya. Menururtnya  jika memakai logika plintiran, orang justru  bisa berpikir sebaliknya. Prabowo dan Ical sama-sama pebisnis tambang. Publik jangan-jangan  berpikir isu itu dilontarkan karena kedua orang ini takut, ‘cawe-cawe’ mereka mengeruk kekayaan alam Indonesia terganggu, baik dari pengusaha domestik ataupun asing. “Jadi, “pesaing Jokowi harus hati-hati. Serangan mereka justru bisa menghantam diri mereka sendiri, ” ujarnya.

Drajat menyarankan agar para capres lebih mengedepankan kampanye yang mendidik. Kalaupun harus menyerang, mungkin kampanye negatif masih bisa ditolerir. “Kampanye jenis ini bermanfaat karena menghindari pemilih dari situasi memilih kucing dalam karung. Diskursus tentang penculikan aktivis atau soal lumpur Lapindo itu contohnya. Faktanya ada, akuntabilitasnya yang tidak ada,” pungkasnya. (Ind/red)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com