INDOPOLITIKA – Demam Berdarah Dengue (DBD) tetap menjadi perhatian utama di Indonesia, terutama saat musim hujan tiba.
Data dari Kementerian Kesehatan RI mencatat bahwa sepanjang tahun 2024 terdapat 244.409 kasus DBD dengan 1.430 kasus kematian.
Hingga 23 Januari 2025, DKI Jakarta menempati posisi keenam dalam daftar daerah dengan kasus DBD tertinggi di Indonesia, mencatat 257 kasus. Lima provinsi dengan angka lebih tinggi adalah NTT, Jawa Timur, Bali, Lampung, dan Jawa Barat.
Untuk menekan angka kasus, pemerintah semakin gencar menjalankan berbagai program pencegahan.
Berikut beberapa langkah yang telah dilakukan:
1. Gerakan 3M
Direktur Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI, dr. Ina Agustina Isturini, menegaskan bahwa DBD merupakan ancaman serius karena kasusnya terjadi sepanjang tahun dan meningkat saat musim hujan.
Penyakit ini tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga pada produktivitas masyarakat serta sistem layanan kesehatan.
Sejak awal tahun hingga 3 Februari 2025, sudah tercatat 6.050 kasus DBD di 235 kabupaten/kota di 23 provinsi. Untuk mengendalikan penyebaran, pemerintah menerapkan berbagai strategi, termasuk pengendalian vektor nyamuk, Gerakan 3M Plus (menguras, menutup, mendaur ulang, serta langkah tambahan untuk mencegah gigitan nyamuk), dan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik, yang diperkuat dengan edukasi masyarakat.
2. Edukasi dan Pencegahan Berkelanjutan
Menurut dr. Ina, pencegahan DBD harus dilakukan melalui berbagai pendekatan, tidak cukup hanya dengan satu cara.
Oleh karena itu, pemerintah telah menetapkan Strategi Nasional Penanganan Dengue 2021-2025, yang melibatkan kerja sama lintas sektor.
Salah satu bentuk kolaborasi adalah kampanye Langkah Bersama Cegah DBD yang digelar pada 14-16 Februari 2025 di Central Park, Jakarta. Selain itu, pemerintah juga mengadopsi inovasi dalam pencegahan, seperti implementasi nyamuk ber-Wolbachia di beberapa daerah, termasuk Yogyakarta, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Bontang, dan Kupang. Vaksinasi juga mulai digunakan sebagai perlindungan tambahan terhadap DBD.
Meski demikian, dr. Ina menekankan bahwa keberhasilan upaya ini sangat bergantung pada peran aktif masyarakat.
“Setiap orang harus menerapkan Gerakan 3M Plus agar pencegahan lebih efektif,” ujarnya.
3. Kolaborasi dengan Sektor Swasta
Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines, Andreas Gutknecht, menyatakan bahwa pemerintah tidak hanya mengandalkan program internal, tetapi juga membuka peluang kerja sama dengan sektor swasta dan masyarakat dalam mengatasi DBD.
“Kita tidak bisa bergantung pada satu solusi saja. Diperlukan penerapan disiplin Gerakan 3M Plus, peningkatan kesadaran masyarakat, serta pemanfaatan inovasi dalam pencegahan. Dengan kerja sama yang kuat, kita bisa mencapai target Nol Kematian Akibat Dengue pada 2030,” ujarnya.
4. Vaksinasi sebagai Upaya Pencegahan
Dokter Spesialis Anak, dr. I Gusti Ayu Nyoman Partiwi, menyoroti pentingnya vaksinasi dalam mencegah DBD. Hingga kini, belum ada obat khusus untuk mengatasi dengue, sehingga tindakan pencegahan sangat diperlukan untuk mengurangi risiko komplikasi.
Namun, ia menegaskan bahwa vaksinasi dengue tidak termasuk dalam cakupan BPJS, melainkan masuk dalam Program Imunisasi Nasional yang menargetkan kelompok usia tertentu, terutama anak-anak.
“DBD bukan penyakit ringan. Kita harus bertindak sebelum terlambat,” jelasnya.
Spesialis Penyakit Dalam, dr. Suzy Maria, juga menekankan pentingnya kebiasaan menjaga kebersihan lingkungan sepanjang tahun, bukan hanya saat musim hujan.
Selain itu, ia menyarankan masyarakat mempertimbangkan vaksinasi sebagai perlindungan tambahan, terutama bagi anak-anak dan orang dewasa yang tinggal di daerah rawan DBD.
“Untuk perlindungan optimal, vaksinasi harus diberikan secara lengkap sesuai dosis yang dianjurkan. Jangan anggap remeh DBD, karena kita tidak bisa memprediksi kapan atau seberapa parah infeksinya,” tutupnya. (Rzm)
Tinggalkan Balasan