Keterpaduan Pembangunan dan Kebudayaan Dunia Ketiga

 

Penulis: Febby Nurrahmiyatul Quddus

Mahasiswa UIN Jakarta

INDOPOLITIKA.COM – Di negara-negara dunia ketiga isu pembangunan merupakan isu sentral yang terus diperbincangkan hingga saat ini. Alasannya sederhana bahwa negara dunia ketiga akan selalu berpikir dan berusaha terkait cara apa yang bisa membawa mereka menjadi sejahtera dan sejajar dengan negara-negara maju.

Biasanya yang menjadi perdebatan alot adalah terkait sistem ekonomi yang hendak dipakai. Lazimnya perdebatan sistem ekonomi yang terjadi selalu diseputar apakah akan menggunakan sistem kapitalisme dengan semangat keterbukaan dan pasar bebas atau penggunaan sistem sosialisme yang mengedepankan semangat kolektivitas. Pada dasarnya kedua sistem ini selalu menawarkan janji-janji berupa kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Ilmuwan sosial yang cukup konsen pada persoalan ini adalah Peter L. Berger seorang sosiolog kelahiran Austria. Dalam bukunya Pyramids of sacrifice : poltical ethics and social change (1974), ia menggambarkan bahwa apa yang ditawarkan oleh kapitalisme dan sosialisme bagaikan sebuah mitos yang harus diyakini dan belum tentu kebenarannya.

Ide-ide kapitalisme dan sosialisme sendiri pada awalnnya hadir dan berkembang di Barat, sehingga gagasan-gagasan yang mereka miliki sesuai dengan konteks yang ada di Barat. Namun, menjadi soal ketika ide-ide ini ingin dibawa ke negara dunia ketiga yang tentunya memiliki konteks sosial yang berbeda.

Dalam mencapai tujuan kemajuan dari kapitalisme atau pemerataan dari sosialisme yang akan membawa umat manusia kepada kehidupan yang lebih baik tak jarang juga harus memakan banyak korban. Jika menurut Peter L. Beger bahwa korban yang dimaksud bukan saja korban yang berbentuk materi, melainkan juga korban-korban dalam bentuk non materi. Korban yang dalam bentuk materi bisa berbentuk eksploitasi terhadap tenaga kerja atau eksploitasi terhadap sumber daya alam. Sementara untuk korban yang bersifat non materi bisa berupa nilai-nilai atau kebudayaan lokal.

Dalam sebuah pembangunan yang ingin mencontoh sistem ekonomi yang ada di Barat, biasanya orang hanya menilai bahwa perubahan yang terjadi hanya sebatas pada perubahan di sistem ekonominya saja tanpa melihat perubahan yang terjadi pada nilai-nilai dan budaya lokal dari masyarakat tersebut. Padahal sistem kapitalis baru bisa berjalan efektif ketika nilai yang berkembang di masyarakatnya mendukung. Sehingga ketika sistem ekonomi kapitalis akan diterapkan, maka perlu juga merubah cara pandang masyarakatnya. Begitu pula dengan sosialisme, bahwa sistem tersebut baru bisa berjalan jika nilai-nilai yang berkembang di masyarakatnya turut mendukung. Hal ini tentu membuat nilai-nilai yang telah lama di masyarakat dapat terancam keberadaannya. Atas dasar tersebut maka dalam pembangunan, aspek-aspek kebudayaan dari masyarakatnya juga sangat perlu diperhatikan.

Oleh karena itu, perlu sebuah penyesuaian terhadap konteks sosial yang ada di negara dunia ketiga bila ingin menerapkan gagasan ekonomi yang datang dari Barat agar nilai dan kebudayaan lokal tidak menghilang ditelan arus perubahan. Contoh paling ideal dari hal ini adalah negara-negara di kawasan Asia Timur yang berhasil menyesuaikan gagasan ekonomi Barat dengan nilai-nilai konfusian yang mereka miliki. Sehingga gagasan ekonomi yang dipakai dan tujuan yang hendak dicapai tidak harus mengikis kebudayaan serta nilai-nilai yang ada di masyarakatnya. [dbm]

 

 

Bagikan:

Ikuti berita menarik Indopolitika.com di Google News


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *