INDOPOLITIKA.COM – Klaim Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang menyatakan kalung buatan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementan mampu mematikan COVID-19 menuai polemik di masyarakat.
Ahli Farmakologi, Prof. Zullies Ikawati, mengomentari terkait produk ini melalui wawancara eklusif di TV One (4/7/2020).
“Mungkin yang perlu dijelaskan kepada masyarakat adalah bahwa bentuk kalung anticorona itu bukanlah seperti kalung yang kita bayangkan, namun semacam “aksesori aromaterapi”, yang bukan cuma dikalungin, tetapi digunakan dengan cara dihirup-hirup, dengan aturan tertentu (misal berapa kali sehari). Jadi prinsipnya adalah semacam menggunakan inhaler begitu, yang dibuat dalam bentuk kalung, mungkin biar ngga jatuh-jatuh dan gampang ilang.” jelas Guru Besar dari Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada ini.
“Hal yang perlu diperhatikan adalah klaim efek antivirusnya, yang masih perlu dibuktikan. Perlu dipastikan apakah dosis yang berefek sebagai antivirus yang digunakan pada uji in vitro dapat tercapai ketika digunakan dalam aromaterapi atau dengan cara dihirup-hirup.” tambahnya.
Apalagi, menurutnya, disebutkan juga di media bahwa dengan memakai kalung anticorona tersebut selama 15 menit, dapat membunuh 42% virus; jika dipakai 30 menit dapat membunuh 80% virus corona.
“Angka-angka itu didapat dari mana? Jika itu dari hasil uji invitro tentunya tidak pas, karena cara pemaparannya berbeda. Selain itu, klaim antivirus merupakan klaim yang tinggi, yang tidak bisa digunakan untuk sediaan herbal dengan kategori jamu.” terang Prof. Zullies.
Zullies menjelaskan melalui akun facebook pribadinya bahwa Kalung nanti akan berisi eucalyptus oil (sejenis minyak kayu putih). Eucalyptus oil sendiri sudah banyak diteliti dan memiliki efek anti virus, termasuk pada virus corona. Sejauh ini memang belum dicoba langsung dengan virus SARSCoV-2, namun karena mirip, maka diduga bisa juga utk antivirus COVID-19.
“Minyak kayu putih sebagai pelega pernafasan, menghangatkan badan, menyamankan tenggorokan, memang sudah dipakai bertahun-tahun secara empiris oleh masyarakat. Jadi sebagai terapi simptomatik COVID, it’s OK. Mungkin akan lebih bijak untuk berhati-hati menyatakan klaim antivirus ketika sudah akan digunakan pada manusia. Memposisikan minyak kayuputih sebagai terapi supportif Covid-19 sudah sangat baik. Saya sendiri suka meneteskan minyak kayuputih pada tissue yg saya pasang di masker. Harumnya khas, hangat dan melonggarkan nafas. Tapi apakah masih bisa berefek sebagai antivirus dengan dosis yg terhirup, saya tidak bisa menjawabnya.” tegas Prof. Zullies.
Pernyataan Prof. Zullies dibenarkan oleh Dr. Indri Dharmayanti, peneliti utama virologi molekuler dari Balitbangtan.
“Saya setuju dengan Prof. Zullies, ini media berlebihan. Untuk diklaim suatu obat perlu proses yang sangat panjang, setelah uji in vitro maka dilanjutkan dengan uji in vivo, dan klinis. Saat ini produk ini masih dalam tahap pengembangan dan akan dipasarkan dengan status sebagai Jamu mengarah ke obat kuasi” ujar Dr. Indi ketika Live di TV One bersama Prof. Zullies.
Penelusuran di Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Obat kuasi adalah obat yang telah lama dikenal dan digunakan untuk keluhan ringan dan tidak memiliki bukti efek farmakologi dengan kandungan bahan tunggal atau pun kombinasi. Tata cara registrasi obat kuasi sama dengan registrasi obat tradisional dan suplemen kesehatan.
Terpisah, Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (Cespels), Ubedilah Badrun menilai langkah Kementan tersebut merupakan sebuah kebijakan yang aneh dan tidak tepat.
“Kebijakan yang aneh dan tidak tepat untuk hadapi Covid-19. Itu mirip-mirip sakit flu dikasih batu akik. Aneh kalau sebuah Kementerian (Kementan) memproduksi secara massal berupa kalung anti virus Corona,” sindirnya.
Keanehan itu, kata Ubedilah, dapat dilihat dari tiga hal. Pertama kebijakan tersebut dibiayai dari dana Covid-19. Hal tersebut dinilai tidak sesuai peruntukan yang dapat menimbulkan kesan asal menghabiskan dana Covid-19. Padahal, dana itu merupakan anggaran dari pajak rakyat dan utang negara.
Kedua, pemerintah seperti bekerja tanpa basis data riset yang benar. Ini lantaran belum ada penjelasan secara keilmuan dari lembaga kredibel mengenai kebenaran khasiat kalung tersebut.
“Itu kalung sejenis obat atau jimat? Darimana data risetnya? Lembaga apa yang melakukan riset?” tanyanya.
Menurut Ubedilah, rencana produksi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah sudah kewalahan menghadapi Covid-19. [rif]
Tinggalkan Balasan