INDOPOLITIKA-.COMRevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) menjadi UU KPK. Atas perubahannya, banyak kalangan yang mengkhawatirkan KPK tidak lagi menjadi super power seperti dahulu. Sebab, ada 34 poin perubahan yang disepakati, antara lain perubahan status KPK menjadi lembaga eksekutif, pegawai KPK berstatus pegawai negeri, serta penyadapan harus seizin dewan pengawas.

Poin-poin tersebutlah yang telah menjadi kesepakatan pemerintah dan DPR dalam revisi UU KPK ditunding melemahkan KPK. KPK akan menjadi ” macan ompong’.

Berikut adalah sejumlah kalangan yang mengkhawatirkan kinerja KPK pasca revisi UU KPK disahkan :

Mantan Wakil Ketua KPK, M Jasin mencontohkan perubahan pada pasal 12 UU KPK, yang menjelaskan penyadapan hanya terbatas pada tahapan penyelidikan dan penyidikan, termasuk penuntutan saat berkas perkara tersangka korupsi masuk ke dalam persidangan. Menurutnya, ini akan menjadi teradisi ” main mata” antara tersangka dengan jaksa dan hakim.

“Kalau dia teleponan dengan hakimnya, bagaimana? Terus ke penuntut umumnya, “tolong ya nanti pemberkasannya diringankan,” kata M Jasin.

Sebelum direvisi, penyadapan dilakukan sampai tahap penuntutan. Hal ini menurut M. Jasin sebagai langkah pencegahan terjadinya `main mata` antara tersangka dengan Jaksa dan Hakim.

Kemudian, soal pemberian kewenangan untuk menghentikan dan menghentikan kasus (SP3) dianggap M. Jasin ini akan menyuburkan traksaksional kasus korupsi.

“Orang itu kan ada khilafnya. Dihibur (penegak hukumnya), diajak transaksional karena transaksinya besar di SP3 itu,” kata M. Jasin.

Belum lagi, sambung M. Jasin perubahan Pasal 46 UU KPK. Adanya poin penangkapan kepala daerah harus izin dulu kepada presiden. Langkah ini dianggap M. Jasin terlalu birokratis. Ia memastikan ketika ini diterapkan, kedepan pemberantasan korupsi akan semakin melempem.

Sebelum direvisi pasal ini memberikan kewenangan besar kepada KPK untuk menangkap dan menetapkan tersangka ( pejabat negara) tanpa harus izin presiden.

“Kalau minta izin kan repot mau ditangkap tangan, atau disadap kan… minta izinnya terlalu banyak termasuk kepada dewan pengawas,” lanjut Jasin.

M. Jasin menceritakan pengalamannya saat menjabat selama di KPK, semua ruang lingkup penyelidikan itu berada di bawah pimpinan KPK sehingga lebih efektif. Kalau yang sekarang, akan lebih merepotkan.

“Kita membayangkan seperti itu, karena dulu izinnya hanya pimpinan KPK dan semua hal yang menyangkut tentang aspek hukum, misalnya apabila ada kesalahan dan penyalahgunaan wewenang kan yang bertanggung jawab kan pimpinan KPK,” kata Jasin.

Selain M. Jasin, ada dari Indonesian Corruption Watch (ICW) mengatakan kalau saat ini KPK memang  sudah menjadi macan ompong. KPK, kata Kepala Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesian Corruption Watch (ICW), Lola Ester mengatakan sejak diwacanakan pada 2010, revisi UU KPK ini diniatkan untuk melemahkan KPK.

“Ya, sebutlah macan ompong, sebutlah jadi semacam komisi pencegahan korupsi. Meskipun memang tidak terlihat langsung secara jelas,” kata Lola.

Kata dia, KPK itu berbeda dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam proses penanganan perkara korupsinya, KPK terlihat lebih efektif dan efisien dibandingkan kedua lembaga itu tadi.

“Nah KPK sedang menuju ke situ dengan proses yang cepat. Makanya dia dibikin satu atap ada penyidikan ada penuntutan. Langsung di KPK,” kata Lola.

Namun, perubahan UU KPK sekarang, seolah KPK dikebiri kekuasaannya oleh pemerintah. terutama, terkait dengan pembentukan Dewan Pengawas

“Karena ada izin dari dewan pengawas. Dia bisa menentukan izin penyitaan penggeledahan, penahanan, bahkan penyadapan, dalam mekanisme sebelumnnya tidak seperti itu,” kata Lola.

Saat ini, RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah di ketok palu oleh DPR. Gelombang penolakan yang begitu kuat, tak lagi di dengar oleh pemerintah DPR. Kini Jalan satu- satu nya adalah mengugatnya ke Mahkamah Kostitusi.

Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi mengatakan lembaganya segera menggugat UU KPK yang baru disahkan ke Mahkamah Konstitusi.

“Kawan-kawan sudah menyiapkan untuk Judicial Review ke MK, segera,” kata dia.

Hal yang dijadikan landasan hukum, kata Fajri, pengesahan revisi UU KPK cacat prosedur. Menurut aturannya, revisi UU KPK tak bisa disahkan karena tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).

“Ada beberapa hal prosedural yang ditabrak oleh pembentuk Undang-Undang,” kata dia.
Publik juga tidak pernah didengarkan oleh pemerintah dan DPR dalam proses revisi UU KPK, termasuk tidak ada publikasi draf revisi UU KPK. (pit)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com