JAKARTA – Kantor Staf Presiden menyerap segala masukan dan kritik terkait isu tenaga kerja asing yang muncul di masyarakat dan media sosial. Dalam diskusi terbatas yang digelar di Kantor Staf Presiden, Gedung Bina Graha, Jakarta Pusat, Rabu, 2 Mei, 2018, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani menyatakan saran dan kritik dari luar pemerintah secara substansi penting untuk membangun strategi dalam menjelaskan kebenaran pada publik.
“Kami mengharapkan gambaran fisiologis dan masukan pada pemerintah mengenai persoalan isu ketenagakerjaan ini,” kata Jaleswari.
Diskusi ini dibuka oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dan dihadiri Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Denni Puspa Purbasari, Direktur Migrant Care Wahyu Susilo, Pakar Manajemen Universitas Indonesia Rhenald Kasali, dan Pengamat Hukum Refly Harun.
Dalam pertemuan itu dibahas celah-celah yang perlu diperhatikan pemerintah dari Perpres No. 20/2018 mengenai ketenagakerjaan asing dan membahas strategi komunikasi dalam menjawab kekhawatiran publik.
“Penjelasan mengenai ketenagakerjaan ini seharusnya melibatkan imigrasi, karena isu ini terkait dengan imigrasi, tidak hanya dengan Kementerian Ketenagakerjaan,” tegas Wahyu Susilo mengenai pandangannya terhadap isu TKA.
Wahyu mengkhawatirkan potensi penyalahgunaan visa, karena itu komunikasi dengan Dirjen Imigrasi sangat penting dilakukan dalam membahas isu ini. “Pemerintah harus menjelaskan turunnya Perpres ini adalah wujud implementasi kepedulian pemerintah terhadap pekerja migran, baik pekerja kita di luar negeri dan pekerja asing di Indonesia,” ungkapnya.
Sementara itu, Rhenald memaparkan pentingya sisi ekonomi dalam melancarkan komunikasi publik. “Perang komunikasi ini diperlukan biaya, masalahnya apakah ada anggaran untuk melawan ini semua?” tanyanya. Ia juga menekankan, perang komunikasi ini didasari oleh kecanggungan pada perbedaan ras di lapangan.
Bergeraknya arus revolusi teknologi juga berkaitan dengan masuknya TKA di Indonesia. “Dalam mengirimkan alat ke Indonesia, Cina turut mengirimkan teknisinya yang ditugaskan untuk merakit alat-alat tersebut, akan tetapi posisi mereka sering disalahartikan sebagai pekerja kasar yang mengakibatkan mereka diusir di tengah-tengah pekerjaan mereka,” papar Rhenald.
Diusulkan dalam diskusi ini untuk mengirim tenaga kerja Indonesia agar mendapatkan pelatihan di luar sehingga terjadi transfer of knowledge bagi pekerja di Indonesia.
Dalam sisi hukum, Refly Harun menyatakan, isu ini tidak lepas dari adanya sentimen politik. “Bisa jadi Perpres diartikan untuk mempermudah masuknya TKA, dengan indikasi bahwa dibutuhkannya TKA dalam proyek-proyek Pemerintah. Jelas ini merupakan titik yang sangat rawan,” ungkapnya.
Menurutnya, Perpres No.20/2018 ini dianggap dapat menguntungkan sisi para Tenaga Kerja Asing, padahal yang dimakasud tidak demikian. Refly menekankan, terdapat celah yang dapat menjadi sumber kritik, sehingga perlu penjelasan, bahwa Perpres tersebut dibuat untuk mendukung tenaga kerja Indonesia.