INDOPOLITIKA.COM- Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak penyidik Kejaksaan Agung untuk menetapkan unsur dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai tersangka.

Alasannya, OJK sebagai institusi pengawasan lembaga bank maupun non-bank dinilai telah melakukan kesalahan dalam pemberian izin investasi kepada PT Asuransi Jiwasraya.

“OJK harus bertanggungjawab atas kasus ini,” kata Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, di Mabes Polri, Rabu (15/01/2020).

Boyamin membeberkan beberapa kesalahan yang dilakukan OJK dalam kasus ini. Pertama, OJK memberikan izin kepada PT Jiwasraya menjual JS Saving Plan sebagai produk non unit link yang dikeluarkan oleh Jiwasraya dengan tawaran return minimal 9 persen.

“Harusnya kan tidak boleh. Karena saham kan naik turun,” kata dia.

Kedua, sistemnya putus kontrak. Artinya, dalam premi asuransi jika sudah putus kontrak maka secara otomatis tidak boleh dijalankan lagi. “Tapi tetap diijinkan jualan,” tambah Boyamin.

Selanjutnya, Badan Pemeriksa Kuangan pernah menegur PT Jiwasraya untuk menghentikan penjualan JS Saving Plan. Namun, OJK tak melarang. Hingga akhirnya PT Jiwasraya tetap memasarkan produknya.

“Termasuk memberikan izin investasi tanpa adanya akta notaris ketika manajer investasi bertransaksi dengan pemegang saham. Dan ini dibiarkan juga oleh OJK,” imbuh Boyamin.

Kemudian, Boyamin juga mengkritisi pola manajemen investasi yang dilakukan oleh JS dalam membeli saham. Menurutnya, dana Rp 10 triliun polis premi asuransi nasabahnya tersebut dibelikan saham-saham gorengan. Yang pada akhirnya tidak menguntungkan apa-apa.

“Nah itu kan OJK membiarkan lagi. harusnya kan OJK tegas. Misal, Kamu harus belikan saham bluecips misal Telkom, Gudang Garam,” tuturnya.

Karena itu, dirinya menilai OJK telah lalai dalam menjalankan otoritasnya sebagai lembaga pengawasan bank maupun non-bank dengan membiarkan hal-hal tersebut terjadi.

Tak hanya itu, lanjutnya, pemerintah juga harus dapat me-recovery asset JS sebagai perusahaan BUMN, dan ikut bertanggungjawab dalam mengembalikan uang para nasabah.

“Kan ada diaturannya. Ada pengawasan baik dari produknya, keamanan nasabah itu diutamakan. Karena semua lembaga keuangan ini kan ngambil dana dari masyarakat,” demikian tutupnya.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung menjelaskan, PT Asuransi Jiwasraya gagal membayar klaim yang telah jatuh tempo. Hal itu juga tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai adanya tujuan tertentu atas pengelolaan bisnis asuransi, investasi, pendapatan, dan biaya operasional.

“Hal ini terlihat pada pelanggaran prinsip-prinsip kehati-hatian dengan berinvestasi yang dilakukan oleh PT Asuransi Jiwasraya yang telah banyak melakukan investasi pada aset-aset dengan risiko tinggi untuk mengejar high grade atau keuntungan tinggi,” ungkap Jaksa Agung ST Burhanuddin, Rabu (12/12/2019).

Burhanuddin kemudian memaparkan investasi pada aset-aset dengan risiko tinggi yang dilakukan PT Asuransi Jiwasraya. Pertama, penempatan saham sebanyak 22,4 persen senilai Rp 5,7 triliun dari aset finansial. Dari jumlah tersebut, hanya lima persen dana ditempatkan pada saham perusahaan dengan kinerja baik.

“Sedangkan 95 persen dana ditempatkan di saham yang berkinerja buruk,” ujarnya.

Kedua, penempatan reksa dana sebanyak 59,1 persen senilai Rp 14,9 triliun dari aset finansial. Dari jumlah tersebut, hanya dua persen yang dikelola oleh manager investasi Indonesia dengan kinerja baik.

“Dan 98 persen dikelola oleh manajer investasi dengan kinerja buruk,” kata Burhanuddin.

Atas transaksi tersebut, PT Asuransi Jiwasraya hingga bulan agustus 2019 menanggung kerugian negara sebesar Rp 13,7 triliun. Namun, angka itu kata Burhanuddin, hanya perkiraan awal.

“Jadi Rp 13,7 triliun hanya perkiraan awal dan diduga ini akan lebih dari itu,” pungkas pria berkumis ini.[sgh]

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com