Keinginan DPR dan Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Pemilihan Kepala Daerah di akhir masa jabatan DPR RI periode 2009-2014, menunjukkan motif kepentingan politis.

Masyarakat sipil mendesak penundaan pengesahan karena masih banyak masalah dalam pembahasannya.

Persoalan mendasar di antaranya menyangkut mekanisme proses pemilihan kepala daerah (langsung oleh rakyat dan oleh anggota DPRD), dan belum jelasnya penataan kewenangan pemerintah daerah yang masih dibahas dalam revisi UU Pemerintahan daerah. Karenanya RUU Pilkada patut  ditunda.

“Masyarakat sipil mendesak DPR dan pemerintah menunda pembahasan dan pengesahan RUU Pilkada dan menyerahkan pembahasannya kepada anggota DPR terpilih hasil Pemilu 2014,” ujar Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz di Jakarta, Selasa (2/9/2014).

Karenanya, Masyarakat Sipil, meminta Pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan RUU Pilkada karena tidak sejalan dengan janji kampanye pemerintahan baru dan akan menyebabkan perubahan dalam sistem politik pemerintahan lokal.

Masyarakat Sipil melihat RUU Pilkada adalah bagian dari RUU Pemerintahan Daerah yang diusulkan Kemendagri untuk menggantikan UU No. 32/2004 jo UU No. 12/2008 yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara terpisah dari RUU Pemda.

Namun, ternyata di dalam RUU Pilkada yang diajukan pemerintah tersebut mengatur sejumlah perubahan yang sangat signifikan pengaruhnya terhadap sistem pilkada. Pemerintah sempat mengusulkan pemilihan kepala daerah yang tidak dipilih langsung oleh rakyat, namun dipilih oleh DPRD seperti sistem pemilihan kepala daerah yang dilakukan pada masa orde baru yaitu dipilih oleh anggota parlemen lokal di daerah sesuai dengan tingkatannya.

Pegiat Forum LSM Aceh Roys Vahlevi menilai perubahan sangat signifikan dalam RUU Pilkada akan sangat mempengaruhi sistem pemerintahan daerah, dan merupakan suatu bentuk kemunduran karena rakyat tidak lagi memberikan mandat secara langsung kepada kepala daerah.

“Di sisi lain, kepala daerah yang kedudukannya seharusnya sejajar dengan DPRD di daerahnya akan semakin sangat sulit karena dipilih oleh DPRD,” kata Roys.

Sementara dalam debat calon presiden dan wakil presiden yang dilakukan pada Pilpres 2014, kedua pasangan calon menjanjikan akan tetap dengan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung.

Tapi, berdasarkan usulan dari Kemendagri dan perkembangan sidang pembahasan terakhir justru beberapa fraksi mendorong agar pemilihan kepala daerah untuk tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh DPRD dan tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat. Selain itu, wakil kepala daerah diangkat dari pejabat pegawai negeri sipil.

Dalam 30 hari ke depan, Panja RUU Pilkada  mengejar target mereka untuk menyelesaikan dan menetapkan RUU Pilkada. Padahal pembahasan mengenai kewenangan penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah belum lagi tuntas dibahas.

Mahkamah Konstitusi telah menetapkan lembaga tersebut tak akan lagi menangani sengketa pilkada pascatertangkapnya mantan Ketua MK Akil Mochtar karena tersangkut kasus korupsi sejumlah sengketa pilkada yang pernah diajukan ke MK. Proses penentuan siapa yang akan menjalankan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pilkada ini akan sangat berpengaruh terhadap sistem pemilihan kepala daerah dan juga penyelenggaraan pemilu secara umum.

Di sisi lain, KPU sebagai penyelenggara pemilu sedang bersiap-siap untuk jadwal pemilihan kepala daerah di 247 daerah pada tahun 2015. Bahkan, menurut jadwal pergantian masa jabatan kepala daerah bulan Januari 2015 ada daerah yang akan memulai tahapan pilkada. Sementara itu, aturan hukum yang ada masih menunggu apa yang akan diatur di dalam RUU Pilkada yang masih sedang digodok oleh DPR.

Proses pembahasan RUU Pilkada selama ini melalui pengklusteran isu-isu krusial dan masih harus melalui proses perumusan dan sinkronisasi pasal-pasal yang ada di dalam RUU Pilkada. Walaupun, menurut keterangan Abdul Hakam Naja, Ketua Panitia Kerja RUU Pilkada, pada Kamis 28 Agustus 2014 lalu, isu krusial yang masih belum ditetapkan dalam panja hanya tinggal satu isu yaitu posisi wakil kepala daerah dicalonkan satu paket dengan kepala daerah atau ditunjuk oleh kepala daerah yang terpilih.

Namun, RUU Pilkada  yang sudah dua tahun dibahas DPR ini masih sangat harus melalui proses perumusan pasal per pasal dan sinkronisasi yang bisa memakan waktu yang panjang.

Sesuai pengalaman pembahasan RUU MD3 yang membahas UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, ternyata justru pada tahap perumusan dan sinkronisasi pasal-pasal terjadi banyak perubahan terhadap ketentuan yang diatur di dalam UU tersebut.

Peneliti Perludem Veri Junaedi mendorong agar DPR lebih fokus membahas APBN di akhir masa jabatannya. Pemerintahan lama tidak punya legitimasi membuat kebijakan besar yang drastis,  karena pemerintahan dan anggota legislatif yang baru sudah terpilih dalam Pemilu 2014 dan akan segera dilantik.

“Jika dipaksakan maka pembahasan RUU Pilkada hanya akan menjadi ajang pertarungan lanjutan Pilpres 2014, sehingga arah desain pelaksanaan Pilkada menjadi kabur,” terang Veri.

Masyarakat Sipil yang mendesak penundaan pembahasan dan pengesahan RUU Pilkada di antaranya Solidaritas Perempuan, Bengkel APPeK NTT, FIK ORNOP SULSEL, Malang Corruption Watch, SIGAB Jogja, The Aceh Institute, Acehnese Civil Society Task Force, Forum LSM Aceh, Pokja 30 Kaltim, Perludem dan ICW. (tbn/ind)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com