Salah satu alasan Prabowo Subianto memilih Hatta Rajasa sebagai calon wakil presiden adalah karena pengalamannya di dunia pemerintahan. Hatta dianggap mumpuni dalam menggerakkan birokrasi pemerintah. Sejumlah jabatan menteri telah disandangnya sejak tahun 2001 hingga tahun 2014.
Namun, pengalamannya itu tak selalu dinilai positif oleh kalangan pegiat pembangunan. Pasalnya, nama Hatta yang sering diseret dalam berbagai kasus kebijakan berpotensi terjerumus ke dalam praktik politisasi birokrasi.
“Seperti di kasus pengadaan KRL bekas dari Jepang, pengadaan dermaga dan bandara di wilayah timur Indonesia, juga kasus impor daging. Tapi Pak Hatta tak tersentuh,” kata pengamat kebijakan publik Rahmat Sigit di Jakarta, Senin (26/5).
Menurutnya, Hatta Rajasa selama ini mampu menyelamatkan diri dari berbagai kasus yang menjadi tanggungjawabnya. Hatta juga mampu meredam setiap isu yang dapat merugikan reputasinya. Padahal, kata Rahmat, tiap ada kasus Hatta tak pernah terlihat berkoar-koar melakukan pembelaan diri.
“Bawaannya kalem dan cool. Tapi tiap ada kasus pasti selesai dan selamat,” ujarnya.
Ia mengatakan, tipologi seperti Hatta biasanya lebih mengandalkan kekuatan diplomasi serta pengendalian “ke dalam”. Semua saluran birokrasi dan aparatur terkait sebisa mungkin dikondisikan sehingga sesuai dengan harapan.
“Kalau tujuannya kepentingan bersama, mengendalikan birokrasi sebenarnya baik. Tapi untuk tujuan dominasi atau kepentingan politik jadi rusak,” jelas Rahmat.
Karena itu, ia menghimbau agar masyarakat lebih jernih dalam menentukan pilihan politik. Presiden dan wakil presiden mendatang diharapkan benar-benar punya komitmen menghilangkan patologi birokrasi.
“Ini agar reformasi birokrasi kita berhasil dan tuntas. Agar tidak ada lagi gejala seperti bureaunomia dan sejenisnya,” pungkasnya. (Ind)
Tinggalkan Balasan