Yanuar Nugroho

Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI Bidang Sosial, Budaya, dan Ekologi Strategis

sebagaimana dimuat di Harian Kompas, Sabtu, 8 Juni 2019 

Setidaknya lima tahun ke depan, ‘membangun sumber daya manusia’ akan menjadi kunci di republik ini. Bukan karena diusung Jokowi-Ma’ruf Amin yang memenangkan Pilpres 2019, namun karena esensi substansi: Kemajuan adalah milik bangsa dengan manusia berkualitas.

Membangun manusia adalah jalan memajukan bangsa. Visi politik ini harus diterjemahkan menjadi arah kebijakan dan program. Bagaimana caranya? Ada tiga kunci. Pertama, Indonesia seperti apa yang ingin diwujudkan; kedua, seperti apa manusia Indonesia yang dibutuhkan; dan ketiga, bagaimana membangun manusia seperti itu?

Visi tentang Indonesia

Seperti apa Indonesia masa depan? Semua punya angan. Para ilmuwan muda merumuskan 45 pertanyaan kunci yang mesti dijawab dalam mempersiapkan 100 tahun Indonesia merdeka dan menuangkannya dalam SAINS45 (Kompas, 10/9/2015). Para diaspora mengajukan aspek pokok yang harus dibangun menuju Indonesia 2045 (kompas.com, 12/2/2019). Banyak kelompok dan organisasi lain menawarkan hal serupa. Presiden Jokowi pun punya Mimpi Indonesia 2015-2085 yang disampaikan di Merauke di awal kepemimpinannya. Bappenas menterjemahkannya dalam visi Indonesia 2045 (Kompas, 11/5/2019).

Semua memiliki cita-cita sama: Indonesia yang lebih sejahtera, maju, berdaulat, adil dan makmur, serta lebih berprestasi. Gambaran ideal ini lantas coba diberi angka. Angan-angannya, di tahun 2045, Indonesia yang akan dihuni 319 juta penduduk menjadi ekonomi terbesar ke-lima dunia, dengan Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 7,3 triliun dollar AS dan pendapatan per kapita di atas 25 ribu dollar AS. Saat itu, 70 persen penduduk tinggal di kota, angka kemiskinan turun di bawah 5 persen, dan usia harapan hidup mencapai 73 tahun. Indonesia akan berada di antara negara-negara maju dunia (Bappenas, 2019).

Tak berlebihan mengatakan Indonesia tengah mengarah ke sana. Meski masih ada sejumlah pekerjaan rumah terkait penegakan hukum, perlindungan hak minoritas, dan penanganan konflik, indikator pembangunan menunjukkan kemajuan. Setelah membangun infrastruktur fisik dan perlindungan sosial untuk menangani masalah utama kemiskinan dan kesenjangan, hasilnya terlihat. Sejak 2015 pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 5,1 persen di tengah gejolak ekonomi dunia. Angka kemiskinan ditekan hingga pertamakalinya di bawah dua digit di 9,66 persen. Ketimpangan menurun ditandai turunnya koefisien gini dari 0,41 ke 0,38. Inflasi terkendali sekitar 3 persen dan pengangguran mencapai angka terendah sejak reformasi di angka 5,34 persen (Laporan 4 tahun JKW-JK, 2018).

Kinerja pembangunan manusia juga menunjukkan sejumlah kemajuan. Angka harapan hidup naik, baik bagi perempuan (dari 72,2 tahun di 2012 ke 73,06 tahun di 2017) maupun laki-laki (dari 68,29 di 2012 ke 69,16 di 2017). Lama bersekolah juga naik dari 7,9 di 2015 menjadi 8 tahun di 2018. Secara umum, Human Development Index meningkat dari 0,686 di 2015 menjadi 0,694 di 2017 (UN, 2018). Sementara itu BPS (2018) menyatakan bahwa Indeks Kebahagiaan, yang mencakup kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affection), dan makna hidup (eudaimonia), juga naik dari 68 (2014) menjadi 70 (2017).

Negeri ini memang menjadi lebih baik: naik statusnya dari negara berpenghasilan rendah ke menengah. Tapi ia tidak akan otomatis jadi negara kaya atau maju. Banyak peringatan tentang jebakan penghasilan menengah (middle income trap) yang siap menyergap jika lengah. Dengan 260 juta penduduk saat ini, bonus demografi hanya akan dinikmati hingga 2031, dengan dependency ratio terendah tahun 2028 (Bappenas, 2017). Untuk menghindari jebakan itu, pembangunan harus inklusif dan berfokus pada kualitas manusia. Jelaslah, membangun Indonesia masa depan berarti membangun manusianya.

Membangun manusia Indonesia

Di jaman ekonomi digital ini, yang cepat lah yang menentukan. Bukan yang sekedar pintar, apalagi hanya ‘besar’. Revolusi industri 4.0 meminggirkan mereka yang lambat. Perubahan drastis yang semula terjadi hanya di sektor bisnis dan manufaktur, kini merambah ke semua sektor termasuk pemerintah dan pembangunan secara keseluruhan. Tidak hanya profesional dan pebisnis, tapi dosen dan guru, dokter, petani dan nelayan, bahkan aktivis dan pegawai pemerintah juga dipaksa beradaptasi dengan kemajuan ini. Dan tampaklah siapa yang cepat dan meraih manfaat, dan siapa yang tertatih-tatih mengejarnya.

Implikasinya jauh menusuk ke jantung perkara: manusia Indonesia seperti apa yang harus dibangun, dan bagaimana? Sehat dan cerdas saja tidak cukup. Harus produktif dan berkarakter agar tidak dilibas jaman serba 4.0 ini. Bagaimana strateginya? Saya tawarkan tiga prinsip: pertama, perbaikan mendasar di hulu untuk semua; kedua, mendorong keunggulan (excellence) hingga ke hilir; dan ketiga, lompatan kebijakan dan tata kelola.

Pertama, masalah di hulu harus tuntas ditangani. Artinya, memprioritaskan kualitas layanan kesehatan dan pendidikan serta penurunan kemiskinan. Sejak 2015-2018 Rp 233 triliun dialokasikan untuk pembangunan kesehatan dan Rp 564 triliun untuk pendidikan. Hingga 2018, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah melindungi lebih dari 219 juta penduduk dengan 97 juta lebih ditanggung pemerintah. JKN menjadi asuransi kesehatan terbesar di dunia. Dalam periode yang sama, lebih dari 18 juta murid dan santri menerima Kartu Indonesia Pintar dan 368 ribu yang berprestasi mendapatkan beasiswa.

Selain itu, jejaring pengaman sosial bagi yang paling miskin tetap harus dipastikan berfungsi baik. Program Keluarga Harapan (PKH) dengan total anggaran Rp 45 triliun dari 2015-2018 telah membantu hidup 10 juta keluarga miskin penerima manfaat (KPM). Anggaran ini terus naik dan untuk 2019 saja mencapai Rp 34,4 triliun. Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) sebagai pengganti rastra/raskin (beras sejahtera/beras rakyat miskin) yang merupakan terobosan terbesar dalam bidang bantuan sosial JKW-JK telah dinikmati 10 juta KPM hingga 2018, dan akan terus diperluas hingga 15 juta KPM di tahun 2019.

Ke depan, JKN harus seluruh warga tanpa kecuali (universal health coverage); pendidikan formal hingga sekolah menengah (K12) harus wajib dan gratis untuk semua. Mereka yang lulus sekolah tingkat menengah dan meneruskan kuliah jurusan apa saja harus dijamin oleh negara hingga lulus. Janji Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah harus merealisasikan hal ini, khususnya untuk mereka yang sebelumnya tidak berani bermimpi meneruskan kuliah karena dibelit kemiskinan. Sementara Kartu Sembako Murah adalah upaya meningkatkan kualitas dan manfaat BPNT ini agar rakyat miskin mendapatkan tidak saja beras dan telur, tetapi juga asupan layak dan sehat seperti sayur, buah, ayam, daging, ikan, dan sumber protein dan karbohidrat lainnya.

Permasalahan di hulu lainnya adalah revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi. Komite Vokasi Nasional yang dibentuk harus memastikan link and match lulusan vokasi dengan DUDI (dunia usaha dunia industri) karena sumber terbesar pengangguran adalah lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Balai Latihan Kerja (BLK) juga harus dirombak manajemen dan kurikulumnya agar sesuai perkembangan industri. Di sini pentingnya Kartu Pra Kerja untuk memastikan sekitar 130 juta angkatan kerja kita punya ketrampilan sesuai kebutuhan dan revolusi industri di ‘zaman now’.

Prinsip kedua adalah excellence hingga ke hilir. Inilah operasionalisasi visi yang berfokus pada SDM. Setelah, atau sembari, memenuhi hak semua warga untuk hidup layak, sehat, dan mendapatkan pendidikan, negara harus menjaring mereka yang muncul sebagai yang terbaik agar menjadi lokomotif kemajuan di semua sektor: mulai dari seni dan budaya, olah raga, akademik, riset dan inovasi, industri, hingga aparatur sipil negara (ASN).

Profil SDM Indonesia secara makro memang masih rendah. Global Talent Competitiveness Index menunjukkan Indonesia jauh tertinggal dari negara lain, 77 dari 119 negara (INSEAD, 2018). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi seperti kemampuan menumbuhkan talenta lokal menjadi global, dan kemampuan menarik talenta global, di mana Indonesia duduk di peringkat 61 dari 119 negara dan 84 dari 118 negara. Di sinilah pentingnya ekosistem untuk mengembangkan talenta nasional. Harus ada kemauan politik serta kebijakan dan tata laksana untuk mengelola dan mengembangkan talenta Indonesia.

Kemauan politik bisa ditunjukkan lewat keberanian pimpinan kementerian/lembaga/ pemerintah daerah (K/L/D) untuk mempercayakan peran strategis kepada ASN muda yang kompeten dan berintegritas. Sektor swasta sudah lama memulai. General Electric misalnya, saat ini mempercayakan 89,9% pimpinannya pada yg berusia muda, dengan rerata usia 38 tahun. Pemerintah bisa melakukan hal yang sama. Sejumlah K/L/D merekrut anak-anak muda potensial baik sebagai ASN lewat open bidding, atau dalam Project Management Office (PMO). Dampaknya sudah terasa seperti percepatan pembangunan infrastruktur, reformasi sejumlah kementerian, perbaikan kinerja pemda. Selain menyuntikkan darah segar ke birokrasi, ada investasi pada generasi muda untuk belajar memimpin dan membangun mentalitas yang kuat dan teruji.

Dari sisi kebijakan dan tata laksana, perlu dipastikan agar grand design, strategi dan roadmap manajemen talenta menjadi prioritas nasional. Tantangannya, tidak ada satu formula yang berlaku untuk semua saat bicara talenta. Desain dan strategi merekrut diaspora unggul berbeda dengan desain dan strategi untuk melahirkan juara olimpiade sains dan matematika, atau para inovator dan ilmuwan dengan paten atau publikasi ilmiah di jurnal kelas satu, ataupun mendorong kampus-kampus kita duduk di peringkat wahid world class university. Berbeda lagi dengan upaya melahirkan sineas kreatif untuk membuat film yang layak tampil di layar internasional, atau atlet kita memborong medali emas di laga dunia.

Janji politik JKW-KMA tentang Empat Dana Abadi, bisa dimanfaatkan secara strategis untuk mengakselerasi proses excellence menuju ke hilir ini. Satu, Dana Abadi Pendidikan untuk meningkatkan pokok modal Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari 60 trilyun ke 100 trilyun tahun 2024 adalah enabler untuk melahirkan talenta di bidang akademis. Dua, Dana Abadi Penelitian bisa menjadi skema fleksibel untuk mendorong kinerja penelitian agar makin fokus menghasilkan terobosan-terobosan inovatif, melengkapi inisiatif DIPI (Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang sudah diluncurkan. Tiga, agar bisa duduk di peringkat 500 atau bahkan 300 dunia, Dana Abadi Perguruan Tinggi bisa digunakan oleh kampus-kampus untuk membangun kapasitas mereka. Empat, Dana Abadi Kebudayaan, yang sudah umum di negara-negara maju, harus diarahkan untuk membangun prasarana dan ruang berkarya bagi para pekerja seni dan budaya, sekaligus untuk meningkatkan kapasitas mereka.

Melompat ke depan

Prinsip ketiga membangun manusia Indonesia adalah lompatan kebijakan dan tata kelola yang harus mengikuti visi, bukan sebaliknya. Dari semesta pembangunan, saya pilih tiga terpenting: kesejahteraan sosial; iptek, inovasi dan seni; dan pemerintahan dan reformasi birokrasi.

Kebijakan di sektor kesejahteraan sosial harus membedakan jelas antara supply dan demand. K/L pelaksana mengikuti kebijakan ini. Tugas K/L penyedia layanan (supply) harus berfokus pada pembenahan kualitas layanan: kesehatan, pendidikan dasar-menengah, pendidikan tinggi, ketenagakerjaan. Sementara K/L yang menangani demand perlindungan sosial harus meningkatkan akurasi data, khususnya penggunaan NIK dan BDT sebagai basis penerima manfaat. Kedua jenis K/L ini harus dipisah. Tidak boleh lagi yang menangani demand sekaligus mengurus supply, seperti Kartu Indonesia Pintar.

Sektor iptek, inovasi, dan seni butuh overhaul. Masalahnya bukanlah dana negara yang terbatas, melainkan perlunya ekosistem. Terimalah fakta bahwa inovasi, seni, dan perkembangan pengetahuan tidak akan pernah bisa dipaksakan. Yang bisa dilakukan adalah membangun ekosistem agar kreativitas tumbuh, inovasi muncul, dan gagasan baru dilahirkan. Untuk itu, peran komunitas epistemik penting. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), ataupun Dewan Riset Nasional (DRN), seperti halnya Dewan Kesenian, harus dipastikan independen, by expertise, dan sungguh mendapatkan ruang untuk menilai validitas gagasan yang akan mendapatkan dukungan pendanaan dan untuk memastikan prinsip fleksibilitas pendanaan iptek dan seni.

Terakhir, reformasi birokrasi dan pemerintahan yang harus bisa mengejar kemajuan jaman. Singkatnya, kata Presiden Jokowi, “Pemerintahan Dilan: digital melayani”. Dibandingkan swasta, pemerintah dan birokrasi memang paling lambat mengadopsi dan mengadaptasi kemajuan teknologi. Karena itu pemerintah harus memastikan ketersediaan data dan peta yang terbuka dan bebas diakses publik. Selain mendigitalisasi layanan publik, perencanaan pembangunan harus memanfaatkan big data analytics. Indikator keberhasilan e-government bukan hanya penghematan anggaran IT dan integrasi teknologi, tetapi meningkatnya kepercayaan rakyat pada pemerintah yang makin terbuka, dekat, mudah dijangkau, dan melayani.

Menurut survey Gallup International (2017), Indonesia adalah bangsa paling optimis di dunia, di atas Amerika, Swedia, dan Italia dalam memandang kondisi negara mereka, khususnya ekonomi dan kesejahteraan, di tengah perkembangan global. Optimisme ini adalah dampak positif dari pembangunan selama ini yang memberi harapan lebih baik.

Namun, meski capaian sudah banyak, kerja belum selesai. Mewujudkan visi membangun manusia adalah kunci meraih kemajuan masa depan bangsa. Negeri besar ini memang pantas, dan harus, dibangun dengan imajinasi dan visi besar, seperti kata Mohammad Hatta, “Hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatanku.”

***

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com