INDOPOLITIKA – Praktik kecurangan dalam penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri (PTN) masih menjadi persoalan tahunan yang belum terselesaikan. Meskipun berbagai upaya pengawasan telah dilakukan, pola kecurangan terus berkembang seiring kemajuan teknologi.

Jika dahulu kecurangan dalam seleksi masuk PTN identik dengan praktik perjokian dan kebocoran soal, kini para pelaku memanfaatkan perangkat digital yang lebih canggih.

Salah satu temuan mencengangkan adalah penggunaan kamera mini tersembunyi di behel gigi hingga pengerjaan soal secara jarak jauh melalui perangkat tersembunyi.

Panitia Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) 2025 mencatat sedikitnya 14 dugaan kasus kecurangan selama dua hari pertama pelaksanaan Ujian Tulis Berbasis Komputer Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (UTBK SNBT), yakni pada 23 dan 24 April 2025. Ujian ini dijadwalkan berlangsung hingga 3 Mei mendatang.

Ketua Tim Penanggung Jawab SNPMB, Eduart Wolok, menjelaskan bahwa UTBK SNBT memberikan fleksibilitas bagi siswa tingkat akhir SMA/SMK untuk memilih PTN tanpa batasan wilayah domisili. Peserta dapat mengikuti ujian di lokasi pilihan mereka, sesuai jadwal yang telah ditetapkan.

Namun, di tengah ketatnya persaingan masuk PTN, celah kecurangan tetap ada. Banyak orang tua dan calon mahasiswa masih memandang PTN sebagai simbol prestise dan jaminan mutu, terutama karena biaya kuliah yang relatif lebih murah serta tersedianya berbagai beasiswa dari pemerintah.

Sebagai langkah antisipatif, Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar menerapkan teknologi jumper signal di ruang ujian.

Rektor Unhas, Jamaluddin Jompa, mengatakan bahwa teknologi ini mampu memutus jaringan komunikasi sehingga peserta tidak bisa berinteraksi dengan pihak luar saat mengerjakan soal.

“Penggunaan jumper signal ini untuk memastikan integritas ujian tetap terjaga. Kami ingin seleksi ini berjalan adil dan bebas dari kecurangan,” ujarnya.

Meski pengawasan saat ujian terus ditingkatkan, pencegahan seharusnya dilakukan sejak awal, terutama di tingkat sekolah.

Masih banyak sekolah yang menjadikan banyaknya siswa yang lolos ke PTN sebagai tolok ukur keberhasilan, yang secara tidak langsung bisa menormalisasi tekanan dan potensi praktik tidak jujur.

Dalam jangka panjang, negara perlu hadir lebih kuat dalam memastikan akses pendidikan tinggi yang adil dan merata, serta menindak tegas setiap bentuk kecurangan yang dapat mencederai prinsip meritokrasi.(Chk)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com