JAKARTA– Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn) Dr Moeldoko yakin madrasah dan pondok pesantren menjadi tempat terbaik dalam membangun karakter bangsa. Hal ini didasarkan pada pengalaman Moeldoko kecil yang tumbuh dan dididik oleh seorang kiai di sebuah surau di Kediri, Jawa Timur.

“Mungkin banyak yang tidak percaya, Moeldoko kecil hidup di surau atau langgar. Sampai dengan saat ini, saya meyakini bahwa madrasah, pondok pesantren tempat paling baik mendidik karakter bangsa. Pembangunan karakter suatu bangsa, harus dimulai dengan pendidikan yang disiplin. Itu ada di madrasah dan pesantren,” kata Moeldoko dalam sambutannya pada peringatan Adz-Zikrol Hauliyyah ke-53 Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits Al-Majidiyyah A-Syafiiyah Nahdlatul Wathan (MDQH-NW) di Anjani, Lombok Timur, Minggu, 24 Juni 2018.

whatsapp-image-2018-06-24-at-15-09-04

Acara ini dihadiri lebih kurang 7 ribu jamaah, mulai dari orang tua santri yang menyaksikan penamatan anaknya, dirangkai tasyakuran dan silaturahmi para alumni dari seluruh Indonesia. Turut hadir Amid (Direktur) MDQH NW Tuan Guru Bajang Zainuddin Atsani, Ibu Hj. Siti Raihanun Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan, Mudir Madrasah Ash Shaulatiyyah Syaikh Majid Said Mas’ud Salim Rohmatulloh dari Arab Saudi.

Di tengah kekuatiran munculnya aliran-aliran keras dan radikal, Jenderal bintang empat ini melihat Nahdlatul Wathan telah mendidik santrinya menuju pemahaman Islam Kebangsaan, cinta agama dan cinta tanah air. Ia menceritakan beberapa prestasi dan pemikiran pendiri Nahdlatul Wathan Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, yang oleh Presiden Joko Widodo telah diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional.

“Sungguh pemerintah memiliki harapan yang tinggi pada Ma’had ini. Mengawal bangsa ini menjadi bangsa yang stabil, menjadi bangsa yang besar yang dikawal para santri yang memiliki ideologi dan wawasan kebangsaan yang tinggi,” ujarnya.

MDQH NW adalah salah satu perguruan tinggi Islam tertua dan terbesar di NTB. Didirikan tahun 1965 saat terjadi gerakan 30 September PKI. Hal ini menandai kebangkitan Islam kebangsaan, juga dapat dimaknai bagaimana peran Islam menjadi perekat persatuan dan kesatuan serta kebangsaan Indonesia. Pimpinan Ma’hàd atau yang disebut Amid pertama adalah pendirinya yakni TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (wafat dalam Usia 98 tahun).  Saat ini Amid dijabat Tuan Guru Bajang Zainuddin Atsani, nama lengkapnya Raden Tuan Guru Kiyai H. Lalu Gede Muhammad Zainuddin Atsani. Di bawah kepemimpinan beliau, Ma’hàd berkembang pesat dan menjadi rujukan model kaderisasi ulama muda di Indonesia.

whatsapp-image-2018-06-24-at-15-09-06

Kini di usia yang ke-53 tahun, Ma’hàd memiliki mahasiswa sekitar 5.500 orang. Mereka belajar di masjid dan ruang kelas sederhana di hamparan tanah subur di Lombok Timur. Dosen pengajarnya adalah Tuan Guru pilihan yang umumnya merupakan alumni Madrasah al-Shaulatiyyah Makkah.

“Saya sampaikan selamat kepada anak-anak yang telah di wisuda. Modal kalian selama berada di sini, telah didapatkan dengan luar biasa. Misi sosial Nahdlatul Wathan telah memberikan contoh, bagaimana menjalani peran sebagai makhluk sosial dan menjadi solusi,” pesan Moeldoko.

Hal yang penting menurut Moeldoko setelah ini bagaimana menjadi panutan yang baik di masyarakat. Bukan hanya memberi contoh tapi pandai menjadi contoh. Selain itu, generasi muda harus siap dengan inovasi dan perubahan yang terjadi. Mengembangkan skill dengan memanfaatkan teknologi.

whatsapp-image-2018-06-24-at-11-19-23

“Jagalah bangsa ini melalui pengabdian dan dakwah. Saya yakin suatu saat nanti kalian akan menjadi pemimpin. Saya titip tiga hal, hormati orang tua, peduli kepada yatim piatu dan jaga Sholat Dhuha,” katanya.

KEBERHASILAN INFRASTRUKTUR

Dalam 3,5 tahun pemerintahan Jokowi, pemerintah telah membangun infrastruktur yang merata di seluruh wilayah Indonesia. Namun sebagian pihak melihat pemerintah hanya membangun fisik belaka. “Saya ingin tegaskan, pembangunan infrastruktur adalah membangun sebuah konektivitas,” tandasnya.

whatsapp-image-2018-06-24-at-15-08-58

Di dalamnya, bukan hanya pembangunan fisik dan ekonomi, tapi juga pembangunan budaya dan sosial. Misalnya, pembangunan kereta LRT dan MRT, akan menumbuhkan budaya antre. Dampak pembangunan infrastruktur juga menciptakan keadilan sosial. Semisal harga BBM di perbatasan, daerah terpencil seperti di Papua sama dengan di Jawa. “Ini akan menimbulkan rasa nasionalisme, cinta tanah air. Dari Jawa Sentris menuju Indonesia Sentris,” ungkapnya.

Memasuki revolusi industri 4.0, di mana kemajuan teknologi informasi akan dominan dan memunculkan perubahan cepat, pemerintah akan memfokuskan pada pembangunan sumber daya manusia.

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com