INDOPOLITIKA – Pemerintah berencana menjadikan Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib mulai tahun ajaran 2027/2028, sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 13 Tahun 2025.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah atau Mendikdasmen Abdul Mu’ti, menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari implementasi Peta Jalan Pendidikan Nasional 2025–2045. Tujuannya adalah menghasilkan lulusan yang produktif dan mampu bersaing di tingkat global.
“Kemahiran dalam bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris merupakan kunci dalam membentuk profil lulusan Indonesia yang siap bersaing di panggung internasional,” ujar Abdul Mu’ti dalam keterangan pers dikutip Selasa (14/10/2025).
Menurut Abdul Mu’ti, pembelajaran Bahasa Inggris didasarkan pada tiga pilar transformasi pendidikan, yaitu:
– Pemerataan akses dan kualitas layanan pendidikan,
– Peningkatan kompetensi guru dan tenaga kependidikan,
– Transformasi pembelajaran menuju pendidikan mendalam (deep learning) yang berorientasi pada masa depan.
Integrasi AI dan Pemrograman dalam Pembelajaran Bahasa Inggris
Dalam Konferensi Internasional TEFLIN ke-71 yang diselenggarakan di Universitas Brawijaya, Malang, Abdul Mu’ti juga menekankan pentingnya pemanfaatan teknologi dan kecerdasan buatan (AI) dalam proses belajar Bahasa Inggris.
“Teknologi memang sangat membantu, tetapi tidak bisa menggantikan peran guru,” tegasnya.
Sebagai bagian dari pendekatan deep learning, pelajaran tambahan seperti pemrograman (koding) dan kecerdasan buatan (AI) akan diperkenalkan dan diintegrasikan dalam pembelajaran Bahasa Inggris.
Pelatihan Intensif untuk Guru Bahasa Inggris
Abdul Mu’ti mengakui bahwa kemampuan guru Bahasa Inggris perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, mulai tahun depan, Kemendikdasmen akan meluncurkan Program Peningkatan Kompetensi Guru Sekolah Dasar dalam Mengajar Bahasa Inggris (PKGSD MBI).
Program ini disusun oleh Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan dengan target agar guru Bahasa Inggris SD mencapai level CEFR A2, dibimbing oleh fasilitator nasional dengan tingkat minimal B1+.
Pelatihan dilakukan dengan metode mindful, joyful, dan meaningful learning, serta didukung oleh Learning Management System (LMS) untuk memfasilitasi pembelajaran digital yang berkelanjutan.
Respons Positif dari Guru
Salah satu peserta konferensi, Risma Riansih, guru SMAN 1 Lubuk Linggau yang sedang menempuh studi S3, menyambut baik kebijakan ini. Ia menilai bahwa meskipun teknologi penting, guru tetap menjadi pusat dari proses pendidikan.
“Kecerdasan buatan hanya menjadi mitra. Guru tetap dibutuhkan kapan pun dan di mana pun,” katanya.
Risma berencana mengajarkan muridnya agar menggunakan AI dengan bijak, bukan sebagai satu-satunya alat berpikir, melainkan sebagai pendukung kreativitas dalam belajar.(Hny)


Tinggalkan Balasan