INDOPOLITIKA – Harga kopi arabika dunia tengah melonjak tajam, mencapai level tertinggi dalam beberapa tahun terakhir, naik lebih dari 50% sejak Agustus 2025.

Kenaikan kopi arabika dunia ini dipicu kekhawatiran terhadap pasokan global akibat ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS), Brasil, dan Kolombia, dua produsen utama arabika dunia.

Dilansir Nasdaq, lonjakan harga terjadi setelah Presiden AS Donald Trump dikabarkan akan memberlakukan tarif baru atas impor dari Kolombia, produsen arabika terbesar kedua. Sementara itu, penguatan mata uang real Brasil turut memperlambat ekspor kopi negara tersebut.

Akibatnya, harga kopi arabika kini mencapai US$4,30 per pon, hampir menyamai rekor tertinggi pada Februari lalu.

Di bursa berjangka ICE, stok arabika turun ke level terendah dalam 19 bulan terakhir, hanya 467 ribu karung. Tarif impor 50% terhadap kopi Brasil semakin memperparah kondisi, membuat pembeli AS menunda kontrak baru dan mendorong harga global naik.

Meski ada kemungkinan harga terkoreksi jika AS dan Brasil melonggarkan tarif, ketidakpastian pasar masih tinggi. Faktor cuaca memperburuk situasi: Somar Meteorologia melaporkan curah hujan berlebih di Minas Gerais, wilayah penghasil arabika utama Brasil, sementara NOAA memprediksi peluang La NiƱa mencapai 71%, yang dapat menurunkan produktivitas tanaman kopi musim 2026/2027.

Menurut USDA Foreign Agriculture Service (FAS), produksi arabika global 2025/26 diperkirakan turun 1,7% menjadi 97 juta karung, sedangkan robusta meningkat 7,9%. Lembaga Volcafe bahkan memperkirakan defisit arabika global mencapai 8,5 juta karung, tertinggi dalam lima tahun terakhir.

Peluang Indonesia

Di sisi lain, Indonesia mendapat peluang positif. Laporan USDA FAS Jakarta (Mei 2025) menyebut produksi kopi nasional diperkirakan naik 5% menjadi 11,3 juta karung, berkat cuaca baik dan peningkatan penggunaan pupuk.

Meskipun 85% produksi masih robusta, arabika menyumbang sekitar 13% atau 1,45 juta karung. Lonjakan harga dunia memberi manfaat bagi petani di Gayo (Aceh), Toraja (Sulawesi Selatan), dan Kintamani (Bali), dengan harga spot arabika di Medan mencapai Rp222 ribu per kilogram pada Februari 2025, hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya.

Kenaikan harga mendorong petani meningkatkan perawatan kebun dan merehabilitasi lahan kopi lama. Dari sisi perdagangan, ekspor kopi Indonesia 2025/26 diproyeksikan naik 7% menjadi 6,5 juta karung, dengan tujuan utama Uni Eropa, AS, Mesir, Malaysia, India, dan Jepang.

Namun, ekspor ke AS sempat tertahan akibat tarif timbal balik 32%, sehingga beberapa eksportir mengalihkan pengiriman ke ASEAN, Jepang, dan Timur Tengah.

Sementara konsumsi domestik diperkirakan hanya tumbuh tipis menjadi 4,81 juta karung karena melemahnya daya beli kelas menengah. Penjualan kopi siap minum (ready to drink/RTD) tetap naik 3% pada 2025, meski ini merupakan pertumbuhan terendah sejak pandemi.

Lonjakan harga arabika dunia membuka peluang bagi Indonesia untuk memperkuat posisi di pasar kopi premium global. Dengan peningkatan kapasitas pasca-panen, sertifikasi keberlanjutan, dan dukungan pemerintah bagi petani kecil di dataran tinggi, kopi arabika Nusantara berpotensi naik kelas di pasar internasional.

Jika momentum ini dimanfaatkan dengan baik, Indonesia bisa menjadikan harga tinggi sebagai titik balik kebangkitan kopi arabika sekaligus memperkuat branding kopi lokal di dunia.(Hny)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com