INDOPOLITIKA.COM – Hari Kamis, 19 September 2024 adalah hari yang sedikit melegakan bagi kita, masyarakat yang telah geram marah sejak mengetahui peristiwa sadis yang menimpa Nia Kurniasari, gadis penjual gorengan.
Setelah 11 hari masa pencarian, polisi Padang Pariaman bekerjasama dengan warga setempat berhasil menemukan, mengepung dan membawa tersangka. Lokasi pembunuhan disinyalir hanya berjarak 500 meter dari kediaman korban.
Tanggal 6 September 2024 lalu, Nia oleh keluarganya dilaporkan hilang tidak pulang ke rumah seusai menjual gorengan. Tiga hari kemudian, yaitu tanggal 8 September 2024, jasad Nia ditemukan terkubur di lahan perkebunan di Korong Pasa Gelombang, Nagari Kau Tanam, Kecamatan Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat.
Anak Perempuan Penopang Ekonomi Keluarga
Berdasarkan laporan dari berbagai penelusuran media berita (news media), Nia Kurniasari, saat peristiwa pembunuhan berumur 18 tahun. Dia tahun 2024 ini telah menyelesaikan jenjang Pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).
Dari keterangan pembuat gorengan (bosnya Nia), ibu Samidawati, Nia sudah menjajakan kue buatannya sejak ia sekolah di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hasil dari jualan gorengan tersebut menurutnya, pernah diceritakan oleh Nia, selain untuk membantu ekonomi keluarga ia juga bermaksud menabung untuk biaya masuk kuliah. Nia adalah anak baik yang bertanggung jawab terhadap ekonomi keluarga setelah ayahnya meninggal.
Oleh karena itu, menurut Samidawati, Nia sudah terbiasa berjualan dengan berkeliling dengan jarak yang cukup jauh. Ia melawan Lelah sepulang sekolah di saat teman-temanya istirahat Bersama keluarga, Ia harus berjualan keliling dari nagari ke nagari (desa ke desa).
Ia tidak memperhitungkan apakah jalur ia keliling tersebut wilayah yang aman aman, angker, terjal, atau tidak. Baginya semakin luas wilayah jangkauan ia berkeliling berarti semakin semakin banyak peluang orang calon pembeli kuenya.
Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dijelaskan pada pasal 1 ayat (1) bahwa anak adalah seseorang yang berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Jadi, masa Nia (18 tahun) menurut UU tersebut harusnya masih menjadi tanggung jawab keluarga. Namun karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan, ia bekerja keras untuk dapat mengubah nasib diri dan keluarganya. Ia bercita cita untuk melanjutkan kuliah. Anak perempuan itu mau merelakan masa remajanya tidak bisa bermain-main layaknya remaja lain seusianya.
Ia merelakan Pundak dan kepalanya untuk menahan beban berat memikul tampah berisi aneka kue/gorengan yang ia jajakan keliling dari satu desa ke desa yang lain. Ia merelakan nyawanya terancam hilang di tangan laki-laki penjahat dan pembunuh yang sewaktu-waktu mengintainya.
Seharusnya, di usia Nia, semua beban itu ditanggung oleh orang tuanya atau kerabat dan handai tolannya. Tapi, seorang Nia tidak mau menjadi beban bagi orang lain. Ia memilih mandiri. Ia bahkan menjadi penopang ekonomi keluarga.
Cita-cita Nia untuk melanjutkan ke jenjang Pendidikan perguruan tinggi ikut terkubur dalam jasadnya. Adalah akibat aksi tak manusiawi pelaku. Padahal di tahun ini, melalui usahanya Nia mendapatkan beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) di Universitas Sumatra Barat (Unisbra).
Anak Perempuan, masih sangat Rentan Jadi Korban
Sosok Nia, adalah gambaran perempuan lemah yang sesungguhnya. Apalagi di mata laki-laki predator perempuan. Karena di mata pelaku, anak perempuan yang berasal dari keluarga miskin ini dipastikan tidak mampu melawan, tidak kuasa menerima entah rayuan, ancaman, dan entah kekerasan apa yang dilakukan pelaku kepada Nia saat itu sebelum akhirnya nyawa Nia melayang ditanganya.
Dalam konteks masyarakat patriarkal, kasus Nia adalah contoh bagaimana kekerasan seksual tidak hanya dimotivasi oleh Hasrat biologis, melainkan juga keinginan untuk mengendalikan, merendahkan, dan menghancurkan martabat perempuan.
Polisi sudah mendapatkan apresiasi dari semua masyarakat Indonesia karena keberhasilannya menemukan dan membekuk pelaku. Selanjutnya, partisipasi warga masih terus harus dilakukan dalam mengawal kasus ini hingga tuntas. Partisipasi warga telah terbukti dengan Kerjasama selama ini dalam menemukan lokasi persembunyian pelaku.
Partisipasi warga juga ditunjukkan tidak hanya dengan memberikan karangan bunga papan aneka warna di depan kantor polisi setempat. Kita masih harus terus berpartisipasi Bersama sama penegak hukum dan polisi hingga pelaku benar-benar mendapatkan hukuman terberat.
Kita harus turut memberi dukungan kepada polisi dalam mendalami apa motif pelaku. Termasuk menggali latar belakang kehidupan pelaku. Termasuk sudah ada berapa kemungkinan adakah korban lain selain Nia yang menjadi korban kejahatan pelaku.
Selain itu, jangka waktu ditemukannya pelaku di lokasi persembunyian menyisakan pertanyaan. Adakah orang yang membantu pelaku untuk bersembunyi. Diduga ada pihak yang membantu pelarian tersangka. Karena di lokasi persembunyiaanya ditemukan dua bungkus rokok dan abu bekas rokok tersangka.
Partisipasi masyarakat pastikan Kawal Polisi tuntaskan kasus
Simpati warga ditunjukkan dengan banyaknya warga yang turut hadir menyaksikan pengepungan dan penjemputan pelaku dari lokasi persembunyian. Mereka jika tidak diamankan oleh polisi di lokasi, nyawa pelaku dipastikan habis diadili dan dihukum langsung oleh warga.
Tidak hanya itu, dari pantauan berbagai media kita menyaksikan banyaknya karangan bunga beraneka warna menghiasi halaman depan markas Polres Padang Pariaman Sumatera Barat (20 September 2024). Warga memberikan apresiasi dan dukungan kepada polisi yang telah bekerja keras membekuk pelaku.
Apa yang dilakukan warga, menunjukkan bahwa polisi dalam pantauan masyarakat. Jangan sampe riuh gembira ini menyisakan kinerja polisi dalam mendalami motif, mencari kemungkinan yang menolong pelaku bersembunyi, dan memastikan bahwa pelaku harus diadili dan dihukum dengan hukuman seberat-beratnya.
Hukuman terhadap pelaku akan menjadi pembelajaran di masyarakat bahwa tidak ada ampun bagi pelaku keji. Ini tidak hanya Tindakan criminal. Ini adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran terhadap Hak Perlindungan Anak, pelanggaran terhadap adat, pelanggaran terhadap perlindungan perempuan.
Hukum Mati bagi Pelaku
Indra Septiawan (26 tahun) tersangka pelaku pembunuhan Nia benar-benar laki-laki biadab yang tidak memperhitungkan dampak dari terbunuhnya Nia. Kepada polisi, tersangka mengakui perbuatannya, memperkosa dan membunuh Nia. Dipastikan ia mempersiapkan aksi jahatnya jauh-jauh hari.
Ia mengikuti atau tepatnya menguntit tatkala Nia berjualan. Ia memperhitungkan lokasi yang paling aman baginya untuk melakukan aksi biadabnya terhadap Nia. Dan sangat dipastikan, ini adalah pembunuhan berencana. Ia merencanakan tindakan keji tak bermoral itu tanpa menggunakan akal sehat. Menodai gadis lugu pemberani yang lemah tidak kuasa melawan kuatnya tubuh pelaku yang memaksanya. Dari laporan berbagai berita kasus Nia.
Lokasi ditemukannya tampah berisi gorengan yang berserak di tanah, jilbab yang sebelumnya dipakai Nia serta lokasi dikuburkannya Nia benar-benar di wilayah sepi dari lalu lalang warga, bahkan cenderung dianggap “angker” karena dekat dengan pemakaman desa. Kita membayangkannya saja sudah perih, pedih, betapa sakit ia mengalami peristiwa kejam itu hingga nyawanya melayang jasadnya dikubur dalam kondisi yang memprihatinkan.
Ibu korban, Eli Marlina (44 tahun) mengatakan tidak akan memberi maaf kepada pelaku. Dikutip dari (www.bbc.com ) “Kami berharap agar pelaku dihukum seberat-beratnya. Bila perlu hukuman mati”. Sebagai ibu dari korban, kita merasakan perihnya rasa kehilangan yang begitu tragis. Anak kesayangan penopang hidupnya selama ini direnggut nyawanya oleh laki-laki berperilaku hewan. Pupus semua harapannya memiliki putrinya sukses di kemudian hari.
Jadi, kata “bila perlu hukuman mati” yang disampaikan oleh ibu korban, harus kita pastikan, bukan bila perlu, tapi harus hukuman mati. Dalam hukum adat ada istilah nyawa dibayar nyawa. Pengadilan harus memberikan keputusan hukuman berat se berat-beratnya. Jangan biarkan calon pelaku lain masih berkeliaran bebas di sekitar kita yang mengintai nyawa anak perempuan kita. [***]
Penulis: Siti Napsiyah Ariefuzzaman, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tinggalkan Balasan