INDOPOLITIKA.COM- Surat Perintah Penyelidikan (Sprin-Lidik) penangkapan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dipermasalahkan oleh Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP).  Anggota tim hukum DPP PDIP Magdir Ismail mengatakan, sprindik tersebut cacat hukum.

Pasalnya, Sprin-Lidik itu yang mengeuarkannya adalah pimpinan KPK demisioner. Menurutnya, Agus Rahardjo, pimpinan KPK lama ini tidak berhak mengeluarkan dan menandatangani Sprin-Lidik yang dikeluarkan pada 20 Desember 2019. Sebab, dua bulan sebelumnya, yakni 21 Oktober 2019, Presiden Jokowi sudah memberhentikan pimpinan KPK lama tersebut.

 “Artinya apa? Ketika 21 Oktober mereka diberhentikan dengan hormat, pimpinan KPK itu tidak diberi kewenangan secara hukum untuk melakukan tindakan-tindakan yang sebelumnya menjadi kewenangan mereka,” ujar Maqdir di kantor DPP PDIP, Jakarta pada Rabu, 15 Januari 2020.

Namun sayangnya, protes yang dilakukan oleh Maqdir ini tidak didukung oleh hukum yang berlaku. Pasalnya, dalam keputusan Presiden (Kepres) Republik Indinesia nomor 112/P tahun 2019 tetang Pemberhentian Dengan Hormat dan Pengangkatan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menyebut surat memang ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2019. Namun ada klausul lain yang menjelaskan keputusan presiden ini berlaku sejak pengucapan janji pejabat KPK yang baru.

“Keputusan Presiden ini mulai berlaku sejak pengucapan sumpah/janji pejabat sebagai mana dimaksud dalam diktum kedua Keputusan Presiden ini”.

Pejabat KPK yang baru, yakni Firli Bahuri dan lainnya dilantik oleh presiden dan diambil sumpahnya itu pada Jumat siang, 20 Desember 2020. Di hari yang sama ini pula, Agus Rahardjo pemimpin KPK lama mengeluarkan Sprin-Lidik dihari terakhir masa jabatannya, yakni 20 Desember.[pit]

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com