Oleh: @Verimuhlis *
Pernah mendengar sebutan pengamat politik? Apa yang terbayang di benak Anda ketika mendengarnya? Seorang mahasiswa saya menjawab paling tidak seseorang disebut pengamat karena sering sekali mengamati atau bekerja fokus mengamati segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia politik.
Mengamati dunia politik tentu memerlukan keahlian. Selain karena bidang politik adalah penuh lika-liku dan abu-abu, trend dan perkembangan segala sesuatunya di bidang ini begitu cepat. Meminjam istilah Cak Nur, perkembangannya detik-perdetik.
Nah, pengamat politik tentu harus terus mengikuti perkembangan ini. Selain itu seorang pengamat dituntut memiliki wawasan, interaksi, dan ini yang terpenting, metodologi ilmiah yang bisa menunjang pengamatannya.
Seorang pengamat bukan dukun atau peramal. Asal ceplos, ditulis lalu lewat begitu saja, tak berarti apa-apa, tak ada apa-apa. Jangan sampai hasil pengamatannya sama sekali tak ada guna.
Para pengamat politik akan mendapat banyak order dari media pada waktu tertentu. Seperti sekarang ini, saat pemilu. Banyak sekali pengamat yang diundang di televisi. Dari situ dapat diukur mana yang berbobot mana yang tidak. Ukuran bobot pengamat dilihat dari penguasaan materi dan ilmiah.
Tentu sangat beda pengamat politik dengan konsultan politik. Konsultan itu dibayar oleh client-nya. Dia wajib berpihak dan mensukseskan client-nya, karenanya konsultan politik adalah tim sukses.
Perbedaan ini belum begitu menonjol karena banyak sekali pengamat sesungguhnya adalah konsultan politik atau sebaliknya, termasuk banyak dosen juga, padahal PNS tetapi jadi tim sukses diam-diam banyak kandidat.
Konsultan politik yang berganti baju menjadi pengamat atau sebaliknya tentu membutuhkan ruang ganti. Ruang ganti itulah yang disebut Grey area, area abu-abu, area ganti gincu.
Di sini diperlukan etika yang harus disepakati. Benturan kepentingan akan sangat terlihat ketika misalnya seorang pengamat diminta komentar soal client-nya, dengan asumsi wartawan tidak tahu, pasti hasil amatannya akan menguntungkan sang client. Demikian ketika diminta komentar soal lawan dari clinet-nya, pasti akan miring.
Jadi perlu kiranya ke depan, khususnya media massa, mengetahui latar belakang para pengamat atau nara sumber. Jangan sampai konsultan politik sebuah parpol diminta mengamati parpol tersebut, jelas akan “muji dewek” dan terasa seolah enak didengar padahal sedang kampanye. Sekian.
*Veri Muhlis Ariefuzzaman
Founder Konsep Indonesia (Konsepindo) Research & Consulting
Tinggalkan Balasan