INDOPOLITIKA.COM – Anggota Komisi VIII DPR Bukhori Yusuf mengingatkan agar pemerintah tidak mencuri kesempatan di tengah situasi krisis, menyusul terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19.
Menurut Bukhori, terdapat beberapa pasal kontroversial dalam Perppu tersebut. Salah satunya menurut Bukhori adalah Bab V Ketentuan Penutup pasal 27 dari ayat (1) sampai (3). Pada pasal 27 ayat (1) tersebut berbunyi: “Biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/ atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan pelaksanaan kebijakan pendapatan negara merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”
Menurut Bukhori, pasal 27 ini membuat pengambil kebijakan menjadi kebal hukum jika dalam pelaksanaan Perppu ini terjadi maladministrasi seperti penyalahgunaan anggaran, pembiayaan yang tidak efektif dan efisien, penggelapan dana, dan sejenisnya.
“Jika kita lebih cermat dalam melihat pasal 27 ini, kita akan menemukan celah yang besar bagi terjadinya tindakan penyalahgunaan anggaran. Sebab, model bantuan seperti ini sangat berisiko menjadi lahan basah bagi pihak yang tidak bertanggungjawab, sebagaimana pola serupa pernah terjadi dalam kasus skandal dana talangan Bank Century,” ujar Bukhori mengutip parlementari, Jumat, (3/4/2020).
Pada pasal 27 ayat (2) berbunyi “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, BI, OJK, dan LPS, yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu ini tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakantugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Selanjutnya di pasal 27 ayat (3) berbunyi “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN.”
Politisi asal Jepara ini menilai, pada ayat selanjutnya di Perppu ini, secara tidak langsung menihilkan fungsi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dan DPR RI untuk melakukan fungsi pemeriksaan dan pengawasan. Logikanya, jika memang ditemukan masalah keuangan dalam pelaksanaan peraturan tersebut oleh BPK atau DPR, pembuat kebijakan yang bersangkutan tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dengan dalih tindakan tersebut didasarkan pada itikad baik.
“Perlu dipahami bahwa Perppu ini terbit tanpa melibatkan partisipasi DPR. Padahal uang yang digelontorkan berasal dari APBN, uang rakyat, sehingga harus ada pertanggungjawaban yang jelas dalam penggunaannya. Kami mengkhawatirkan dengan tidak adanya pengawasan efektif dalam penyaluran dana tersebut, sebagaimana sudah diatur dalam Perppu, berisiko menimbulkan bencana keuangan. Apalagi, jika kemungkinan buruk tersebut benar terjadi, pejabat terkait tidak bisa diseret ke pengadilan. Di mana letak keadilannya?” tutup Bukhori.
Pelaksana Perppu Kebal Hukum
Sementara itu, para pihak yang menegakkan Perppu ini dilindungi oleh hukum, tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata. “Anggota KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana jika melakukan tugas sesuai Perppu. Sepanjang dilakukan bukan tindakan konflik kepentingan, korupsi, menghindari moral hazard. Agar mereka yang jahat dan buruk yang sudah ada di sektor keuangan tidak memanfaatkan kondisi ini,” papar Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, dalam konferensi pers paket stimulus, Rabu (1/4/2020).
Pemerintah, lanjut Sri Mulyani, sudah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum. Plus meminta pandangan dan Badan Pemeriksa Keuangan. “Dalam sidang kabinet kami mengundang kepolisian, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan memberi informasi kepada BPK apa yang menjadi landasan Perppu. Kita melakukan langkah hati-hati agar moral hazard tidak bisa memanfaatkan,” tegas Sri Mulyani.
Perppu No 1/2020 memberi mandat kepada pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk melakukan hal-hal yang di luar kebiasaan, bahkan di luar rambu aturan perundang-undangan. Misalnya pemerintah diperkenankan memperlebar defisit anggaran di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Atau BI dipersilakan masuk ke lelang Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana.[asa]