Indopolitika.com – Negara dan aparatnya bertanggung jawab atas berbagai persoalan kekerasan terhadap rakyat di masa lalu, seperti penculikan mahasiswa, penembakan mahasiswa Trisakti dan kerusuhan massal tanggal 13-15 Mei 1998. Seolah menjadi sejarah kelam, hingga kini aktor intelektual di balik kasus-kasus itu belum juga terungkap.
“Tiga rangkaian peristiwa jelang tumbangnya presiden soeharto itu adalah kisah sejarah yang wajib dituntaskan untuk kepentingan generasi di masa depan. Sampai kapan pun peristiwa itu akan menjadi beban sejarah yang tidak tuntas bila pihak-pihak yang berkompeten tidak menuntaskannya,” ujar Jurubicara Forum Alumni Perguruan Tinggi Aktivis 98, Taufan Hunneman kepada wartawan di Jakarta (Senin, 12/5).
Taufan menambahkan, tragedi berdarah yang berlangsung di depan kampus Trisakti di kawasan Grogol, Jakarta Barat Mei 1998 tidak akan pernah dilupakan.
“Jangan lah berharap kasus itu akan berakhir hanya karena didiamkan. Tidak akan berhasil,” tegas Taufan.
Taufan meminta agar Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto terbuka dan jujur terkait tragedi 97-98 karena data Komnas HAM menyatakan dia terlibat.
“Prabowo wajib bertanggungjawab. Dan tidak hanya diberhentikan adalah sangsi yang dia terima dan katakan sudah selesai. Tapi harus diklarifikasi di pengadilan seluruh keterangan dan perbuatannya, ” kata Taufan.
Penculikan aktivis pro demokrasi, tragedi berdarah Trisakti yang terjadi pada 12 Mei 1998 dan menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti, adalah sejarah hitam kekerasan negara jelang lengsernya presiden soeharto. Ironisnya, sampai saat ini kasus tersebut masih belum tuntas.
Adapun 4 mahasiswa Trisakti yang tewas dalam tragedi trisakti: Elang Mulia Lesmana (Fakultas Arsitektur, angkatan 1996), Heri Hertanto (Fakultas Teknik Industri, angkatan 95), Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi, angkatan 96), dan Hafidin Royan (Fakultas Teknik Sipil, angkatan 95). (IND/rm)
Tinggalkan Balasan