Indopolitika.com – Prabowo Subianto dinilai sarat dengan beban masa lalu khususnya kasus-kasus pelanggaran HAM, demikian disampaikan dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kholis Ridho dalam sebuah diskusi publik di Jakarta. “Untung bagi Prabowo, publik hanya terfokus dengan isu pelanggaran HAM-nya saja,” jelas Kholis, Selasa, (6/5/2014)
Kholis juga mengingatkan kesan karakteristik militeristik ala orde baru dari Prabowo. Beberapa catatan menunjukan Prabowo terbiasa bertindak apa pun yang dianggap perlu, cenderung mengabaikan hirarki dan aturan hukum yang berlaku. “Pergerakan pasukan Kostrad yang ‘mengepung’ rumah Presiden Habibie dan penculikan aktivis 1997-1998 merupakan contoh yang paling dikenal umum.” ujarnya.
Kholis menambahkan, ia bisa mengerti jika banyak orang sebenarnya merasa gundah dengan pencapresan Prabowo. Sebab, konsekuensi-konsekuensi yang bakal dihadapi rakyat dan bangsa ini bisa lebih dari bisa diperkirakan banyak orang. Tidak hanya kebebasan yang dipertaruhkan, tapi yang jauh lebih penting lagi adalah kemanusiaan. ”Yang merasa situasi era SBY menyebalkan akan segera merasa hal itu sebagai ‘kemewahan’ jika Prabowo berkuasa,” tandasnya.
Dalam diskusi tersebut juga mengemuka, Prabowo dianggap punya beban terkait praktik bisnis keluarga besarnya, hal tersebut diungkapkan Miftahunnajah, koordinator Gerakan Indonesia Bersih. Miftah menambahkan keberadaan adik Prabowo bernama Hashim Djojohadikusumo tak bisa dianggap sekadar pendukung Prabowo. Pada 2009 lalu, Prabowo menyatakan dirinya hanyalah wayang. Yang jadi otak di belakang Gerindra adalah Hashim. Dalam catatan Miftah, Hashim punya rekam jejak bisnis yang tak sepenuhnya bersih. “Salah satu yang dulu sempat jadi sorotan adalah bisnis PLTU Paiton I. Pembangkit listrik swasta ini sempat dihebohkan karena menjual harga listrik yang sangat di luar kewajaran kepada PLN. Unsur kolusi dan nepotisnya sangat tinggi,” urainya.
Selain itu, Hashim juga termasuk pemilik bank yang turut menggangsir bank-bank miliknya. Hashim tercatat memiliki 6 bank di antaranya Bank Niaga, Bank Papan Sejahtera dan Bank Industri. Caranya, bank-bank itu menyalurkan kredit kepada perusahaan milik Hashim jauh di atas batas maksimum pemberian kredit (BMPK) kepada perusahaan yang terafiliasi milik pemilik bank. “Pelanggaran BMPK itu termasuk tindak pidana, “ pungkasnya. (ind/red)