INDOPOLITIKA – Sejak diluncurkan pada 1 Januari 2025, aplikasi layanan pajak digital bernama Coretax sering mengalami masalah teknis. Padahal, biaya investasi untuk membangun platform ini mencapai lebih dari Rp1,3 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menunjuk salah satu staf ahlinya, Iwan Djuniardi, untuk memimpin proyek Coretax.
Iwan, yang telah menjabat sebagai Staf Ahli Menkeu dalam bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak sejak 2021, disebut-sebut sebagai pimpinan proyek Coretax yang melibatkan tiga perusahaan global yakni PricewaterhouseCoopers (PwC), konsorsium LG CNS-Qualysoft (anak perusahaan LG dari Korea Selatan), dan PT Deloitte Consulting.
Peran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dalam proyek ini tergolong kecil, padahal sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan, DJP seharusnya memimpin proyek tersebut.
Selama pelaksanaannya, Sri Mulyani kerap menerima laporan yang tidak sepenuhnya akurat terkait perkembangan aplikasi Coretax. Aplikasi yang diklaim sudah siap, ternyata belum sepenuhnya berfungsi.
Meskipun sebelumnya diusulkan untuk diluncurkan lebih cepat pada Agustus 2024, implementasi Coretax terus ditunda hingga akhirnya diluncurkan pada 1 Januari 2025.
Proyek yang berkaitan dengan lebih dari 66 juta wajib pajak ini, sayangnya, tidak diuji coba secara menyeluruh, hanya dilakukan uji kesiapan terbatas di beberapa wilayah.
Ketika muncul kendala, tidak ada sistem cadangan karena aplikasi lama, DJP Online, sudah dihentikan.
Iwan Djuniardi mengonfirmasi bahwa dirinya memang ditugaskan untuk mengawal proyek Coretax dan mengakui bahwa implementasi aplikasi ini sempat ditunda hingga Januari 2025.
Ia menjelaskan bahwa penundaan tersebut sesuai dengan ketentuan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Iwan optimis bahwa dalam tiga bulan ke depan, Coretax akan berfungsi sepenuhnya.
Saat ini, Iwan mengatakan tim DJP proaktif membantu wajib pajak korporasi menggunakan Coretax, termasuk perusahaan besar seperti HM Sampoerna, Huawei, PT Telkom, dan Astra International.
Ia juga membantah anggapan bahwa investasi sebesar Rp1,3 triliun untuk Coretax terlalu tinggi, mengingat negara-negara seperti Selandia Baru, Australia, dan Finlandia memiliki aplikasi pajak serupa dengan investasi yang bahkan lebih besar.
Selain itu, pembangunan aplikasi ini memakan waktu empat tahun, sehingga anggaran tersebut tidak dikeluarkan dalam waktu singkat. (Rzm)
Tinggalkan Balasan