Penulis: Siti Napsiyah Ariefuzzaman, (Dosen Prodi Kesejahteraan Sosial, FDIK UIN Jakarta)

INDOPOLITIKA – Refleksi dan edukasi yang penulis sampaikan dalam artikel ini bersumber dari paparan presentasi narasumber Seminar Hari Disabilitas Internasional (Internasional Day of Person with Disabilities) yang diselenggarakan oleh Center for Student with Special Needs (CSSN) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan Program Studi Kesejahteraan Sosial (FDIK) dan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Senin, 2 Desember 2024.

Kegiatan ini awal mula digagas oleh kami, saya sebagai dosen pengampu Mata Kuliah Disabilitas di Prodi Kesejahteraan Sosial dengan mahasiswa “sahabat difable” dari Prodi PBSI.

Kami sama-sama ingin menyelenggarakan kegiatan untuk kita jadikan sebagai refleksi, edukasi dan literasi tentang hak-hak penyandang disabilitas kepada civitas akademika di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan masyarakat pada umumnya.

Dalam sambutan pembuka acara, Dekan FITK, Prof. Siti Nurul Azkiya menyampaikan pentingnya kegiatan seminar tentang disabilitas yang dihadiri oleh mahasiswa dan dosen di lingkungan perguruan tinggi.

Menurutnya, isu disabilitas di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta masih harus diperjuangkan tentang aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Sementara itu, Ketua CSSN dalam sambutannya menegaskan pentingnya keberadaan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai wadah untuk mendukung terwujudnya kampus UIN yang inklusif dan ramah disabilitas.

Kepada Rektor UIN Jakarta, Ia memohon agar CSSN dapat segera didukung proses status kelembagaannya dalam struktur organisasi kampus. Hal ini sangat mendesak untuk memperluas jangkauan layanan yang dilakukan oleh CSSN bagi seluruh civitas akademika.

Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Asep Saepudin Jahar, Ph.D. dalam paparannya sebagai Keynote Speaker menyampaikan tentang pengalamannya sebagai orang tua dari anak yang memiliki kebutuhan khusus. Ia menyampaikan bahwa peran orang tua sangat penting dalam memberikan pendampingan dan dukungan kepada anak yang berkebutuhan khusus hingga ia mendapatkan hak Pendidikan dan hak social di masyarakat dengan baik dan setara.

Menanggapi permohonan dari ketua CSSN, Rektor menyampaikan bahwa sebagai Rektor akan berkomitmen untuk mendukung program-program CSSN dan melakukan penguatan kelembagaan CSSN di UIN Jakarta. Kepada CSSN rector berharap agar terus mendukung program rector dalam membangun Sumber Daya Manusia yang unggul melalui program dan  layanan disabilitas.

Indonesia Darurat Literasi Disabilitas

Adalah Umar Syaroni, M.Med.Kom, Kandidat Ph.D dari University of Sydney, Australia sebagai narasumber pertama menyampaikan tentang beruntungnya ia sebagai penyandang disabilitas. Sejak kecil ia dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh orang tuanya sebagai anak kecil penyandang disabilitas.

Tidak ada rasa malu bahwa dirinya “sedikit” berbeda dengan kebanyakan orang di sekelilingnya. Hingga ia berhasil menyelesaikan jenjang Pendidikan tinggi di Indonesia. Berdasarkan pengalamannya yang tidak mudah dilupakan adalah masih adanya stigma di masyarakat Indonesia terhadap orang disabilitas.

Ia mengajak insan akademik agar diajarkan tentang bagimana melakukan “Person centered training” seperti tentang bagaimana menyapa dan memperlakukan penyandang disabilitas. Dalam komunikasi sehari-hari misalnya, bisa cukup dengan menyapa “hai”. Menunjukkan bahwa seseorang tersebut adalah orang yang sama dengan kita.

Dengan latar belakang Sarjana ilmu komunikasi, Ia mengkritisi tentang bagaimana media di Indonesia masih melakukan stereotype kepada penyandang disabilitas.

Ia bercerita misalnya, saat ia lulus sarjana, disebut salah satu media di Jawa Timur menulis headline dengan judul “Diolok anak setan, Umar Malah Jadi Mahasiswa Difable Berprestasi””.

Ia menyoroti penggunaan kata-kata yang kurang relevan (anak setan) yang tidak memberikan efek psikologis yang positif bagi orang yang diberitakan. Oleh karena itu, ia sangat menekankan bahwa Indonesia darurat literasi tentang disabilitas.

Menurutnya, media social berperan dalam inklusi disabilitas. Media social harus memastikan sebagai ruang digital yang aman bagi disabilitas. Ia mencontohkan bagaimana media social di Australia dapat menggunakan kata dan istilah yang bijak yang berdampak positif bagi psikologis orang disabilitas. Sebagai contoh “The Sydney Student fighting for disability rights around the world”.

Contoh lain yang ia sampaikan agar semua pihak melakukan literasi disabilitas adalah adanya pemberitaan seorang penyandang disabilitas yang gagal terbang naik pesawat hanya karena fasilitas kursi roda yang disiapkan oleh pihak maskapai tersebut diambil oleh oknum anggota dewan (legislative).

Satu kasus yang memprihatinkan baginya. Umarr berharap literasi dan edukasi disabilitas dapat dilakukan oleh generasi (Gen Z) yang selalu lekat dengan teknologi digital dalam aktivitas sehari-hari. Gen Z dapat menggunakan media social secara bijak untuk isu disabilitas. Jangan sampai dijadikan sebagai bahan hiburan dan ledekan misalnya.

Disabilitas Dari Masa Ke Masa

Adalah Rayhan, alumni Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Jakarta sebagai narasumber kedua dalam seminar hari disabilitas internasional ini.  Ia masuk UIN tahun 2018 dan Lulus tahun 2022 sebagai lulusan terbaik di FSH saat itu. Ia menuturkan ada wartawan yang mewancara dengan menanyakan “Bagaimana ko bisa lulus terbaik? Apa ada yang membantu?” kalimat pertanyaan ini menurutnya menunjukkan bahwa wartawan Indonesia lebih banyak “kepo” dan cenderung “negatif” daripada apresiasi.

Seperti menanyakan ko bisa mahasiswa disabilitas lulus tepat waktu dengan nilai terbaik. Ko bisa? Ini menggambarkan betapa masyarakat umum masih menganggap penyandang disabilitas sebagai orang yang lemah yang tidak mungkin berprestasi. Mereka lahir dalam stigma sejak mereka dilahirkan oleh ibunya.

Secara historis, menurutnya penyandang disabilitas sejak lahir di muka bumi pada abad ke-16 M paradigmanya adalah metodologi kuno. Yaitu supra natural, dulu disabilitas dianggap sebagai orang cacat akibat dari kemarahan Tuhan. Akibat dosa-dosa masa lalu. Sebagai hukuman, sebagai aib bagi keluarganya.

Maka sejarah menunjukkan anak disabilitas dibunuh dan tidak berhak untuk hidup. Seiring dengan waktu, semakin banyak yang menyadari akan harkat dan martabat disabilitas, hak untuk hidup adalah yang pertama kali didapat oleh kelompok disabilitas. Mereka tidak dibunuh.

Sejarahpun berlanjut, pada Abad ke-17/18 Masehi, penyandang disabilitas dikumpulkan dalam satu tempat, sebut saja panti, dianggap sebagai kaum melangkolis, sebagai obyek amal, obyek derma orang kaya untuk mendapatkan derma. Lalu berkembang dari obyek belas kasih menjadi obyek medis (medical).

Yaitu bahwa disabilitas itu ditemukan bukan sebagai takdir atau hukuman Tuhan, melainkan karena penyakit. Mereka para tenaga medis memulai dengan pertanyaan bagaimana harus disembuhkan. Banyak ilmu medis mengembangkan tentang cacat karena apa? maka harus disembuhkan. Fokusnya hanya satu. Dokter mendiagnosa kenapa cacat, bagaimana harus disembuhkan.

Maka muncul pusat rehabilitasi, mental, autis, dan lain-lain. Focus mereka satu, berawal dari penyakit, harus disembuhkan oleh obat dan ilmu pengetahuan. Paradigma ini kita kenal kemudian dengan sebutan pendekatan medis (medical approach) terhadap disabilitas.

Kemudian pada Abad ke 19-20 Masehi, menurut Rayhan muncul kesadaran dan Gerakan dari orang penyandang disabilitas. Mereka merasa bahwa mereka seharusnya tidak hanya dipandang sebagai “pesakitan” yang harus disembuhkan. Mereka memikirkan diri mereka. Mereka menyadari bahwa bukan hanya obat.

Bagi mereka masyarakatlah yang harus beradaptasi atau memberikan kemudahan bagi menyandang disabilitas agar mereka dapat memiliki kesempatan yang sama dalam bermasyarakat. Pemikiran ini kemudian dikenal dengan sebutan pendekatan social (Social model).

Berkat perubahan pandangan tentang disabilitas ini berdampak pada munculnya banyak gerakan social muncul di seluruh dunia. Banyak aktor internasional yang menyuarakan inklusi. Tapi masyarakat harus memodifikasi lingkungannya agar orang disabilitas dapat beradaptasi.

Fokusnya adalah kesejahteraan social. Ini karena awalnya harus sembuh, harus sejahtera, manusia yang layak hidup dan sejahtera. Term yang digunakan karena lingkungan social yang tidak mampu dan memampukan. Ada istilah aksesibilitas.

Menurut Rayhan, yang tersisa dari abad ini adalah bagaimana orang disabilitas dipandang tidak mampu. Persoalannya siapa yang mengukur mampu dan ketidakmampuan. Dominasi dan arogansi social, yang memegang kendali menjadi indikator. Mana yang normal mana yang tidak normal tidak ada panduan sehingga memunculkan disabilitas dengan berbagai masalahnya.

Oleh karena itu, menurut Rayhan, saat ini di transisi abad ke-21 Masehi yang kemudian muncul adalah paradigma baru, yaitu model Hak Asasi Manusia (Human Right Model). Bahwa penyandang disabilitas memiliki hak, mereka setara dengan manusia lainnya. Yang harus diselesaikan adalah melakukan apa yang disebut dengan “universal design” atau ruang universal bagi disabilitas.

Desain Universal

Kenichi, Mahasiswa Semester ke-7 Program Studi Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI) FDIK UIN Jakarta sebagai narasumber terakhir memberikan penjelasan tentang konsep ruang universal (universal design). Ia mengutip pengertian disabilitasyang ditulis dalam Undang-Undang No.8 Tahun 2016 bab 1 ayat 1 pasal 1.

Bahwa disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam interaksi dengan lingkungannya dapat mengalami hambatan dan kesulitas untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Menurut Kenichi, penyandang disabilitas patut bersyukur sudah ada payung hukum bagi mereka untuk mendapatkan hak-hak mereka dalam kehidupan sebagai warga Indonesia. Ia menjelaskan bahwa paradigma yang sebelumnya charity model, yang berdampak penyandang disabilitas dipandang sebagai orang yang harus dibantu dan dikasih belas kasihan.

Kini, telah berubah menjadi paradigma pemberdayaan (empowerment). Bahwa mereka harus bisa melakukan pemberdayaan diri agar mereka dapat sejahtera.

Maka menurutnya yang harus diwujudkan masa sekarang adalah Universal design, dalam setiap lini kehidupan di masyarakat sehingga mewujudkan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Ketika disabilitas itu merasa mudah, maka orang lain pasti merasa mudah.

Seperti alat transportasi yang didisain dapat dimanfaatkan secara umum. Oleh karena itu, Disabilitas harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan agar hasilnya adalah Kesetaraan dalam Hak dan kesempatan. Ia berharap agar kegiatan seperti seminar dalam rangka peringatan hari disabilitas internasional ini dapat terus menjadi gerakan yang berkelanjutan, jangan hanya di momen hari disabilitas saja. Selamat Hari Disabilitas Internasional 2024. (***)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com