Politisi senior PDI Perjuangan Sidarto Danusubroto mengatakan,  tim pemenangan Joko Widodo sebagai capres tidak akan dipimpin oleh Puan Maharani.

Dia mengatakan, Puan hanya memimpin tim pemenangan PDIP saat pemilu legislatif 9 April 2014.

“Mbak Puan ini, di pileg iya tapi bukan di pilpres,” kata Sidarto di acara diskusi bertajuk,  “Fenomena Konsultan Politik Dalam Industri Demokrasi” di Jakarta, Minggu (20/4).

Alasannya, untuk menghadapi pemilihan presiden diperlukan tim yang lebih punya pengalaman dan kuat. Dan agar, tak ada tarik menarik kepentingan, tim pemenangan sebaiknya dikendalikan saja oleh Megawati Soekarnoputri.

Menurutnya, dalam menghadapi pilpres, sosok Jokowi yang harus ditonjolkan. Tim pemenangan pun, agar tak ada tarik menarik, harus dikendalikan langsung oleh Megawati, bukan lagi Puan.

“Kepala pemenangan saya kira bukan lagi Mbak Puan, tapi ketum sendiri. Jadi kendalinya bukan di Mbak Puan, tapi ketum sendiri,” kata Sidarto.

Sebagai pengendali tim, Megawati bisa menunjuk orang-orang kepercayaannya sebagai pelaksana harian, seperti  Rini Suwandi atau Pramono Anung.

Dikatakan, cara ini sekaligus untuk menghindari agar tidak muncul lai riak-riak di internal partai terkait pencalonan Jokowi. Dikatakan pula, pencapresan Jokowi sudah final dan jika ada suara-suara yang lain dari internal partai, Sidarto mengimbau agar tidak didengarkan.

 “Misalnya kalau ada suara dari Guruh tentang Jokowi, dia tak ada gaungnya di partai,” kata Sidarto lugas.

Terkait dipakainya konsultan Fastcomm, pimpinan Ipang Wahid, yang menuai pro kontra, Sidarto menegaskan, bahwa Ipang hanya dipakai untuk pemilihan legislatif saja.  Untuk pemilihan presiden sendiri, Jokowi punya tim sendiri. “ Namun memang belum ditentukan. Tapi yang pasti kendali pemenangan akan ada di tangan Ibu Mega,” kata Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat  tersebut.

Pembicara lainnya, Guru Besar Psikologi dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, mengatakan, dalam pemilihan presiden nanti, sulit mengharapkan adanya pertarungan platform dan ideologi. Karena yang diusung adalah tokoh, maka pertarungan pun hanya seputar sosok tokoh tersebut. Maka, kepentingan marketing politik yang akan lebih dominan.

“Saya kira pertarungan Pilpres, adalah pertarungan konsultan politik. Ya ini hanya seputar siapa yang memoles presidennya paling kinclong dihadapan konsumen,” katanya.

Menurutnya, konsultan juga punya ideologi. Tapi yang terjadi di Indonesia, konsultan politik mudah berpindah klien, hanya sesuai pesanan. Itu pula yang terjadi di PDIP, dimana partai tersebut justru merekrut Ipang Wahid, yang notabene dulu ia adalah konsultan politik lawan politik Jokowi. Hamdi mengaku heran, kenapa Ipang yang dipakai.

“Ipang dulu konsultan Foke (Fauzi Bowo), lalu pindah ke Jokowi. Dulu kerjanya habisi Jokowi. Gimana ini. Jadi tak ada konsultan politik. Yang ada konsultan marketing. Enggak ada kerja ideologi, yang ada kerja marketing,” kritik Hamdi. (Jp/ip/pol)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com