INDOPOLITIKA – Anak-anak sekolah di Singapura mengalami kesulitan dalam proses belajar akibat suhu panas ekstrem yang sering terjadi pada bulan Mei dan Juni, periode yang dikenal sebagai waktu terpanas di negara tersebut.
Clement Tan, seorang orang tua murid, menceritakan pengalaman kedua anaknya yang bersekolah di SD Fairfield Methodist. Ia memberikan kipas portabel agar anak-anaknya bisa mengatasi panas di kelas.
“Sekolah mereka berada di gedung lama, dan saat saya menghadiri pertemuan orang tua di sana, saya melihat bahwa kipas angin tidak mampu memberikan sirkulasi udara yang merata di seluruh ruangan. Hal ini menyebabkan ketidaknyamanan terutama di beberapa sudut kelas,” ujar Clement, dikutip dari Channel News Asia.
Suhu panas ekstrem juga berdampak pada kesehatan anak-anak, seperti kambuhnya eksim. Kekhawatiran serupa disampaikan oleh beberapa orang tua lainnya.
Kondisi ini membuat anak-anak sulit berkonsentrasi; mereka lebih sering mengipas diri dengan kertas, gelisah di kursi, dan sibuk mengusap keringat.
Singapura telah mengalami enam gelombang panas sepanjang sejarah, dengan gelombang terakhir terjadi pada 2016. Gelombang panas didefinisikan sebagai periode di mana suhu tertinggi harian mencapai lebih dari 35 derajat Celsius selama tiga hari berturut-turut, dengan rata-rata suhu harian minimal 29 derajat Celsius.
Wang Jingyu dari Institusi Pendidikan Nasional (NIE) Universitas Teknologi Nanyang (NTU) menyatakan bahwa berbagai penelitian menunjukkan penurunan signifikan dalam kemampuan kognitif siswa ketika terpapar suhu tinggi.
“Paparan panas yang berkepanjangan di ruang kelas tanpa pendingin udara dapat meningkatkan rasa lelah dan menurunkan tingkat partisipasi siswa,” jelasnya.
Kementerian Pendidikan Singapura menyadari pentingnya menciptakan lingkungan belajar yang nyaman dan kondusif bagi para siswa. Mereka juga berupaya agar sekolah-sekolah menerapkan praktik operasional yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.(Hny)
Tinggalkan Balasan