INDOPOLITIKA – Kasus dugaan mega korupsi dan pungutan liar (pungli) senilai Rp5,04 triliun yang melibatkan PT Pelabuhan Tiga Bersaudara (PT PTB) dalam operasional Terminal Ship to Ship di Perairan Muara Berau dan Muara Jawa, Kalimantan Timur, terus menjadi sorotan. Sejumlah aturan diduga dilanggar dalam pelaksanaan kegiatan tersebut.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI), Rudi Prianto, PT PTB diduga menjalankan kegiatan pelabuhan di wilayah yang belum memiliki penetapan hukum resmi sebagai kawasan pelabuhan. PT PTB disebut mengklaim legalitasnya dan bahkan mencatut nama Kepala Staf Kepresidenan saat itu, Moeldoko, untuk memperkuat posisinya.

Rudi menyatakan bahwa izin yang dikeluarkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) kemungkinan besar berdasarkan informasi keliru yang disampaikan oleh PT PTB. Ini merupakan pelanggaran serius terhadap negara.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor PM 48 Tahun 2021, penetapan wilayah konsesi pelabuhan harus dilakukan oleh Menteri Perhubungan dengan mempertimbangkan kesesuaian tata ruang provinsi dan kabupaten/kota, serta wajib melibatkan Gubernur setempat. Namun, dalam kasus ini, tidak ada bukti koordinasi dengan Gubernur Kalimantan Timur.

Selain itu, sesuai Permenhub Nomor 59 Tahun 2021, pelaku usaha pelabuhan wajib melaporkan kegiatan mereka kepada Gubernur dan otoritas pelabuhan. Namun, koordinasi semacam itu tidak ditemukan dalam kegiatan PT PTB.

Rudi menegaskan bahwa tanpa penetapan wilayah yang sah, seluruh pungutan yang dilakukan di area tersebut bersifat ilegal dan masuk dalam kategori dugaan tindak pidana korupsi.

Pada Juli 2023, Kemenhub menerbitkan surat persetujuan tarif awal jasa kepelabuhanan di Terminal Ship to Ship Muara Berau dan Muara Jawa. Berdasarkan surat tersebut, PT PTB memungut tarif sebesar 1,97 dolar AS per metrik ton dari para eksportir batu bara.

Dari jumlah tersebut, 0,8 dolar AS per ton langsung masuk ke rekening PT PTB sebagai biaya floating crane, meskipun perusahaan itu tidak memiliki alat tersebut. Dalam kurun waktu sejak pemberlakuan hingga sekarang, diperkirakan sekitar 250 juta metrik ton batu bara telah diekspor dari terminal tersebut, menghasilkan pungli sekitar 300 juta dolar AS atau Rp5,04 triliun.

Putusan PTUN Jakarta Nomor 377/B/2024/PT.TUN.JKT tertanggal 18 September 2024 telah membatalkan surat Kemenhub tersebut. Namun, PT PTB kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 1 Oktober 2024, diduga menggunakan dana hasil pungli untuk membiayai proses hukum itu.

APRI menilai langkah hukum PT PTB sebagai bentuk pembangkangan terhadap hukum dan keadilan publik. Rudi juga menduga adanya praktik pencucian uang, di mana dana hasil pungli dialihkan ke perusahaan lain, yakni PT Indo Investama Kapital, sebelum digunakan untuk keperluan litigasi.

Kasus ini telah dilaporkan ke Kejaksaan Agung RI, dan APRI mendesak KPK, PPATK, serta BPKP untuk segera turun tangan mengusut tuntas dugaan korupsi dan pencucian uang dalam kasus ini.

Rudi menegaskan, “Kementerian Perhubungan wajib mencabut izin konsesi PT PTB dan menghentikan semua kegiatan ilegal di Muara Berau dan Muara Jawa. Penggunaan dana pungli untuk melawan keputusan pengadilan adalah bentuk pelecehan terhadap sistem hukum kita.”(Hny)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com