Perbedaan hasil survei antara SMRC dan Litbang Kompas tentang pilihan presiden dan wakil presiden diperbincangkan banyak orang beberapa hari ini. Dalam survei SMRC, selisih suara kedua Capres melebar ke angka 25,8%. Sementara pada survei Litbang Kompas, selisihnya menyempit ke 11,8%.

Soal kenapa beda, di SMRC naik, di Kompas turun, saya hanya bisa jelaskan dari sisi kerjaan saya. Kami sudah paparkan hal itu dengan gamblang di rilis survei, 17 Maret 2019. Elektabilitas itu tergantung atau dipengaruhi banyak faktor. Silakan cek apakah trend factor-faktor atau variabel-variabel independentnya dalam kurun waktu itu naik atau turun. Kalau turun atau menunjukkan trend memburuk, maka ekektabilitas petahana juga bisa memburuk, demikian sebaliknya.

Variabel-variabel independent itu antara lain ekonomi, politik, keamanan, intensitas mobilisasi, intensitas berita di media, evaluasi pemirsa terhadap debat, dll. Dari semua itu saya tidak menemukan tanda-tanda yang membuat 01 turun dalam kurun waktu itu. Elektabilitas 01 sempat turun di periode bulan September dan Desember karena ada mobilisasi 212, bukan faktor lain. Tapi posisinya tetap di atas, selisih sekitar 20 persen.

Setelah itu, Januari hingga Maret, trend 01 mulai kembali naik. Apa yang membuat naik? Pemirsa televisi yang menonton debat menilai debat pertama dan kedua lebih positif ke 01. Sementara mobilisasi 212 menurun pada Februari dibanding pada Desember.

Sumber perbedaan mungkin juga berasal dari responden yang jawab tidak tahu, dan jumlahnya masih besar. Kita tidak tahu pasti apakah mereka itu lebih banyak yang ke 01 atau 02. Dalam 4 kali survei terakhir sejak September, kenaikan 01 lebih karena menarik yang belum menentukan pilihan, bukan menggerogoti 02. 02 relatif stabil di kisaran 29-35 persen.

Apakah yang belum menentukan pilihan itu akan diambil habis oleh satu pasangan? Mungkin saja, tapi probabilitasnya tidak. Mungkin ada yang ambil lebih banyak dan yang lain mengambil sisanya.

Kalau kita prediksi kemungkinan ke mana yang belum memilih itu dengan menggunakan prediktor demografi, misalnya, berdasar pada data terakhir saya bulan Maret, yang belum menentukan pilihan itu tidak habis diambil oleh satu pasangan.

Semua lembaga survei yang sudah berkiprah lama cukup bagus sejauh ini dalam membaca kenyataan perilaku pemilih di Indonesia, terutama Pemilu dan Pilpres sejak 1999. Paling-paling beda di angka, tidak di kesimpulan pemenang.

Kalau dikatakan efek 01 turun karena kepuasan atas kinerjanya turun, kenapa turun? Apakah karena massa pemilih makin kritis? Pertanyaanya bagaimana sikap kritis bisa sampai ke publik? Lewat media. Kalau begitu, apakah media negatif pada petahana? Telaah komprehensif tak nemukan efek negatif itu.

Sikap kritis yang meyakinkan harus berdasar pada fakta. Fakta apa yang bisa menumbuhkan sikap kritis yang meyakinkan massa pemilih? Biasanya yang sensitif adalah ekonomi makin berat, keamanan memburuk, atau adanya sikap yang melukai identitas warga. Terjadikah itu dalam 5 bulan terakhir? Saya tidak melihatnya.

Di bidang ekonomi: pertumbuhan relatif stabil, tingkat pengangguran dan kemiskinan pasti tak banyak berubah dalam kurun waktu itu. Bahkan yang tiap bulan kita ketahui adalah inflasi yang tetap rendah. Yang ramai adalah soal nilai tukar rupiah. Dan dalam 5 bulan terakhir membaik. Mobilisasi identitas juga tak terlihat menguat. Debat Capres, 02 tidak dinilai lebih baik oleh pemirsa, malah sebaliknya. Jadi saya tidak melihat tanda-tanda negatif yang bisa menurunkan dukungan pada 01.

Sekian.

SAIFUL MUJANI

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com